Tenun Kata

Jika kata bukan lah hujan untuk tanah, sudah pasti itu hanya kuburan yang pindah tempat


Leave a comment

Politik Koran Bekas


Oleh: Dominggus Elcid Li

Membaca berita tahun 2016 seperti kita sedang membaca seluruh ringkasan narasi panjang surat kabar pasca Soeharto. Cita-cita reformasi seolah berjalan di tempat. Lucu dan getir terlipat jadi satu.  Perubahan mendasar yang diharapkan ditawan mekanisme pasar.

Di tahun 2016, atau 18 tahun setelah Presiden Soeharto mundur upaya untuk melihat kembali proses reformasi di Indonesia dilakukan dari berbagai kota di Indonesia–termasuk di Kupang. Jika di era Orde Baru, partai politik non Golkar dan ABRI dipasung maka kini di era multi partai turut ditandai dengan menguatnya jalur politik per orangan atau non partai.

Fenomena menguatnya politik warga cenderung sempat membuat gamang elit partai di Ibukota. Contohnya tarik ulur Ahok, Teman Ahok, dan PDIP maupun partai-partai politik lain seperti Nasdem, dan Golkar sebagai bumbunya merupakan tema umum dalam beberapa bulan terakhir.

Relasi partai politik dan politik warga sempat diletakan dalam posisi antagonis. Politik warga dianggap oleh PDIP sebagai bentuk deparpolisasi, sedangkan ‘harapan perubahan’ yang disampaikan oleh warga yang tergabung dalam ‘Teman Ahok’ tidak terbaca.

Fenomena ini menunjukkan ‘politik populer’ sedang berada di simpang jalan, diantara kendali partai politik, berada di tangan warga, pemodal, maupun aktor utama. Meskipun jika dilihat lebih jauh relasi antara Ahok dan Teman Ahok relasinya adalah relasi asimetris, dimana Ahok menjadi figur yang ‘paling berkuasa’. Artinya apa pun seruan Ahok, cenderung tidak ada yang dapat membantah. Baginya pola pembangunan partisipatoris dianggap membuang-buang waktu, kompleksnya persoalan kaum miskin kota dijawab dengan tangan tentara, dan donasi taipan.

Di sisi lain, sebagian pendukung ‘politik tangan besi’ menganggap kompleksitas persoalan di Ibukota memang membutuhkan orang kuat, agar otoritas pemerintahan DKI dapat dirasakan kembali. Agar ada order di Ibukota. Selain itu modernisasi pemukiman kumuh mutlak diadakan tanpa dialog sebab efisiensi waktu adalah kunci dari gerak maju. Pola ini agak mirip dengan apa yang dilakukan berbagai pemerintah kota di RRC: bongkar, ratakan dengan tanah, dan bangun baru.

 

Membaca Tanda Perubahan

Kemampuan untuk membaca tanda perubahan merupakan salah satu kunci kepemimpinan. Mulai dari kepemimpinan di dalam institusi agama, partai politik dan dalam klan rumah suku. Kemampuan membaca dan mewujudkan perubahan merupakan kata kunci untuk menjelaskan soal kondisi yang diharapkan.

Posisi seorang pemimpin publik terletak pada kemampuannya untuk mewujudkan perubahan, sekaligus mendengarkan apa harapan commune. Tarik ulur antara individu (the ‘I’ (saya)) dan commune, merupakan tantangan tetap.  Di satu sisi seorang pemimpin adalah pucuk puncak pengambilan keputusan di saat yang sama ia harus mampu menerjemahkan harapan warga dan mengantisipasi konsekuensi dari keputusan yang diambil. Tak hanya itu seorang pemimpin publik harus cakap berdialog dengan berbagai komunitas yang ada, dengan dirinya, dan semesta yang tak terbatas.

Setiap generasi memiliki struktur tanda tersendiri dalam memaknai peran publik. Setiap generasi memiliki harapan serupa apa karakter commune idealnya. Setiap generasi perlu mencoba mengerjakan apa yang dianggapnya terbaik dengan tetap melakukan kalkulasi apa yang mungkin ditempuh dalam konteks sosial. Setiap generasi perlu tiba pada substansi yang menjadi titik pijak perubahan sosial di zamannya.

Demokrasi di era ‘lapar visual’ butuh panggung dengan pencitraan sebagai logonya. Biaya tinggi demokrasi tercipta dari proses dramaturgi kampanye. Orang tidak lagi melihat isi dan mencoba kritis, tetapi aksi teaterikal visual langsung dianggap sebagai syarat tetap dan telah menjadi gerak mekanis yang tidak perlu dipikirkan ulang. Kondisi kurang tenaga dalam menjalin relasi antar manusia dalam proses perwakilan cenderung langsung ditukar menjadi relasi ekonomi.

Gerak avant garde tidak mungkin tercipta tidak mungkin dilakukan berdasarkan hafalan, atau sekedar memindahkan nama dari tempat lain. Dalam kategori yang sama para tukang survei (pollster) pun tak lebih dari burung nazar berdasi. Dampak lebih lanjut dari komodifikasi pengetahuan jenis ini kerusakannya memang tidak terlihat langsung, tetapi jangka panjang.

 

Kritik dan Transisi Abadi

Korupsi bukan lah peristiwa individual, tetapi peristiwa kolektif. Tersangka atau terduga korupsi mungkin individu, tetapi jejaring korupsi melibatkan keluarga, kawan main, klan, organisasi, dan institusi. Dalam berbagai level pembenaran korupsi terjadi di dua aras. Pertama, uang korupsi diterima dengan anggapan bisa membantu lebih banyak orang yang membutuhkan sehingga prinsip greater good dipakai. Meskipun konteks greater good di sini tetap lah eksklusif. Lagipula korupsi dalam konteks NTT bukan aksi merupakan aksi hedonis, tetapi aksi ‘makan bersama’.

Kedua, logika pasar dipakai dengan menekankan logika ekonomi (baca: cost and benefit) sebagai hukum tertinggi dan melepaskan tanggungjawab moral. Alibinya jika ‘kesempatan’ ini tidak diambil, ada pihak lain yang mengambil. Sehingga tidak jarang kita lihat institusi yang sama yang mengecam korupsi maupun koruptor, ada dalam jaringan ekonomi yang sama. Mengambil dari kantung yang sama—bahkan secara legal.

Kedua alibi di atas menempatkan individu (agent) bukan sebagai titik final. Bahkan penentang koruptor bisa dianggap absurd, karena kemiskinan absolut selalu dijawab dengan tindakan karitatif temporer yang sifatnya darurat–artinya tolong atau mati. Paradoks ini terjadi karena tindakan karitatif maupun nalar ekonomi dampak positifnya senantiasa dilihat dalam kacamata sistem, sementara dampak korupsi hanya dilihat dalam rantai pendek orang per orangan. Bahkan menerima atau meneruskan pemberian dari koruptor juga dimaknai sebagai ‘pengorbanan diri’. Bukankah kita harus makan dari tangan yang bekerja dan bukan dari tangan yang mengemis?

Menolak nalar dagang dalam proses demokratisasi demokrasi warga juga perlu dilakukan dari jenjang paling bawah. Pendidikan politik perlu dilakukan berbagai institusi masyarakat sipil, sebab warga yang terbeli adalah warga yang ditawan. Dalam kondisi ini fase emansipasi lanjutan agak sulit diharapkan.

Dalam setiap perhelatan Pilkada di Provinsi ini, kehadiran bandar sudah dianggap hal biasa. Pilihan para peserta Pilkada adalah menabung lewat fee proyek, atau menggandaikan leher pada bandar. Di tingkat bawah urusan jual beli suara adalah hal biasa. Harga 250 ribu rupiah per kepala jadi barang biasa. Kaum pelaksana jual beli suara dikenal dengan nama pemain. Mereka mendistribusikan ‘dana perang’, sekaligus menjadi operator. Kaum jenis ini jelas anti dengan konsep relawan warga. Menjelaskan bahwa politik itu murah pada para operator jenis ini biasanya ditanggapi dengan kalimat sinis: ‘Lu pi main lompor di mana ko!’

Jika kita di NTT tidak belajar menggunakan mata kepala untuk belajar melihat, menggunakan mata hati untuk mengolah apa yang dilihat, dan mata kaki untuk menentukan langkah yang mungkin sudah pasti kita hanya akan pandai menjadi kaum yang bersungut. Seribu sumpah serapah secara bergilir ditujukan kepada siapa yang kebetulan ada di atas, tetapi tidak belajar mengerti bahwa kerusakannya adalah kerusakan sistem. Semua pihak di setiap strata terlibat.

Wajar jika mereka yang melakukan perubahan akan selalu ditentang. Bukan hanya ditentang oleh elit ujung atas, tetapi ditawan oleh kaum miskin yang ingin dibela dalam kaca mata moral. Sederhananya dalam dramaturgi kampanye, perayaan hipokrisi bersama jelas membutuhkan aktor-aktor elit kultural. Biasanya uang adalah penggerak utama. Jika semua ingin ‘mendapatkan kue’ maka ia harus hadir, dan jika semua mendapatkan kue tak ada suara sumbang.

Entah kapan para kelas menengah dan elit di NTT ini mau belajar untuk tidak menjadi hipokrit. Tidak menghamba pada uang, dan belajar mengambil keputusan menggunakan kaca mata batin yang jernih. Jika anda takut susah lihat lah yang di bawah yang untuk mengadakan air untuk cebok pun menjadi persoalan rutin harian.

Jalan baru hanya mungkin dibikin jika uang sebagai variabel utama penggerak Pilkada mampu ditertawakan bersama-sama. Berita di surat kabar perlu dibaca ulang, dan ditulis ulang bersama-sama. Agar proses penemuan kembali dapat dilakukan. Jika waktu dianggap lebih penting dibandingkan ruang, mengapa ruang bersama tidak dikerjakan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya dalam posisi samadi?

Politik koran bekas adalah nalar politik yang tidak bisa melepaskan diri dari manipulasi dan menolak untuk tiba pada substansi. Singkatnya, jalan baru itu belum dibikin sehingga siapa pun tidak lebih tahu dan merasa pernah tiba. Namun selama uang masih menjadi tuan, dan menjadi energi penggerak utama ‘demokrasi’, percaya lah Pilkada tak lebih dari pesta pora yang absurd: pesta dan kematian belari bersama. Membaca berita koran jenis ini jelas membuat kita bergidik, dan bertanya: manusia jenis apa yang berdoa sambil merayakan kematian dengan pesta pora di atas kuburan.

*Penulis adalah anggota Forum Academia NTT, tulisan ini dimuat di Harian Pos Kupang, tanggal 18 Agustus 2016.


Leave a comment

Pilkada Kota Kupang tanpa ‘Rule of Law’


 Oleh Dominggus Elcid Li*

Pilkada Kota Kupang terancam ‘sonde ada rasa’, jauh dari substansi  demokrasi, Pilkada hanya lah soal ‘kemampuan memanipulasi persoalan teknis administratif’. Kondisi ini amat dirasakan oleh Viktori, gerakan politik anak muda Kota Kupang yang datang sebagai anti tesis demokrasi transaksional (baca: ada uang, ada pintu).

Sejauh ini kami telah membuktikan bahwa ‘pintu dari rakyat’ terbuka dan ada jika kita sungguh-sungguh hadir dan meminta dukungan dari rakyat. Tak hanya itu model manipulasi elit politik yang menjadikan pintu hanya ditentukan oleh orang kuat partai berhasil dipatahkan dengan model gerakan politik Viktori. Klaim elit partai politik yang biasa menggunakan survey sebagai kamuflase instrumen anti demokrasi pun berhasil kami tiadakan. Singkatnya, kami membuktikan bahwa kelas pejalan kaki pun mampu berpolitik jika mengorganisir diri.

Dengan kondisi tidak padat modal, jauh dari ‘parade spanduk’ Viktori mampu mendapatkan dukungan politik minimal. Politik tidak menjadi barang mahal jika kekuatan kolektif warga yang menjadi sandaran dan bukan kampanye narsistik, yang sekedar menjual wajah calon. Kekuatan kolektif yang memungkinkan pengumpulan dukungan. Kuncinya ada ada pada kebersamaan dan kesukarelaan.

 

Kota Kupang  vs Flores Timur

Di lingkup NTT, sebenarnya ada wajah lain yang menggembirakan yang datang dari ujung Timur Nusa Bunga. Ketika KPU Flores Timur memberikan kesempatan untuk calon indipenden dan netral maka proses penyelenggara Pilkada pun ‘ada rasa’. Sebaliknya dengan kondisi masuk angin, kerja penyelenggara politik di Kota Kupang berjalan kacau balau. Setidaknya ada tiga hal yang membedakan profesionalitas kinerja KPU Flores Timur daripada KPU Kota Kupang di Ibukota Provinsi.

Pertama, ketika melakukan verifikasi faktual KPU Kota Kupang seharusnya membawa formulir dukungan B1-KWK, yang terjadi di lapangan sebagian besar petugas PPS hanya membawa formulir excel yang rawan manipulasi. Bukan omong kosong jika dukungan pendukung Viktori ada di lembar excel milik calon indipenden dari paket lain.

Kedua, petugas PPS di Kota Kupang tidak memiliki lembar cek harian, untuk membuktikan bahwa mereka mengunjungi rumah-rumah ini setiap harinya. Di Flores Timur petugas PPS membawa lembar cek harian. Sebagian besar pendukung Viktori yang dinyatakan TMS (Tidak Memenuhi Syarat), karena PPS tidak turun cek.

Ketiga, para pendukung yang tidak ditemui paling lambat diberitahu tiga hari setelah para petugas PPS melakukan kunjungan verifikasi faktual. Hal ini dilakukan oleh KPU Flores Timur. KPU Kota Kupang tidak peduli dengan syarat ini.

Keempat, di Flores Timur Panwaslu berfungsi dengan menegur ASN yang berpolitik praktis. Di Kota Kupang hal ini tidak jalan. Contohnya di lapangan petugas PPS yang diseleksi oleh tim seleksi untuk KPU Kota Kupang ternyata ada yang berprofesi sebagai pegawai honor di Pemerintah Kota Kupang. Panwaslu masih diam.

Praktek politik yang menghalalkan segara cara, dengan memanipulasi dokumen administratif, dan dengan mengkapling petugas PPS merupakan cara-cara kotor. Kondisi ini diketahui oleh para pelaku politik praktis dan dianggap sebagai aturan umum. Kejadian ini ini membuat Pilkada Kota Kupang kembali dalam mode ‘mati rasa’.

KPU sebagai Pembunuh Demokrasi Warga

Terselenggaranya proses Pilkada yang demokratis dan profesional, seharusnya bukan hanya kebutuhan salah satu pasangan calon dan tim pendukung, tetapi merupakan kebutuhan publik. Jika sistem pemilihan dijalankan asal jadi, semata hanya untuk mengejar formalitas, maka kita semakin jauh dari substansi demokrasi.

Contohnya seluruh keberatan yang diajukan Paket Viktori di tiap tahapan (kecamatan, dan kota) diabaikan. Sebaliknya KPU mengejar formalitas Pilkada serentak. Tirani serentak ini yang menjadi dalil utama KPU Kota kupang.

KPU begitu setia menghitung hari sesuai dengan prosedur birokrasi, tetapi ‘mengabaikan’ protes yang diberikan dalam pleno. Entah apa yang dikejar KPU Kota Kupang? Bahkan KPU Kota Kupang juga tidak mau tahu bahwa hingga hari ini berita acara sidang pleno dari 12 kelurahan tidak pernah diterima oleh Paket Viktori. Bahkan pleno tertutup yang dijalankan KPU Kota Kupang pun cacat hukum, karena bertentangan dengan  Peraturan KPU No. 5 tahun 2016 tentang pencalonan gubernur, bupati dan wakil bupati, dan/atau walikota atau wakil walikota.  Khususnya Pasal  67 Ayat 3 yang berbunyi: ‘KPU Provinsi/KIP Aceh atau KPU/KIP Kabupaten/Kota mengumumkan hasil penetapan pasangan calon dengan keputusan KPU dalam rapat pleno terbuka di kantor KPU/KIP Kabupaten/Kota’. Apa sebenarnya yang ditutupi? Bukankah ini perkara publik?

Sensitivitas Ketua Bawaslu Provinsi NTT terhadap proses Pilkada ini juga terlihat ketika ia menyatakan akan merekrut 600 orang relawan untuk memantau Pilkada Kota Kupang. Seharusnya Ketua Bawaslu NTT sudah melakukan hal ini sejak proses verifikasi faktual untuk para calon dari jalur indipenden. Sebab di era verifikasi faktual petugas pengawas dari Panwaslu defisit 2 orang. Tidak mungkin 1 petugas pengawas di tingkat kelurahan mengawasi 3 orang PPS.

Panwaslu Kota Kupang pun seharusnya bisa lebih tegas. Di satu sisi merekomendasikan dan menyetujui seluruh point pelanggaran yang diprotes oleh Viktori, dan menuangkan surat yang ditujukan kepada KPU Kota Kupang, tetapi di saat yang sama membebaskan KPU untuk melakukan verifikasi sebebas-bebasnya. Kebebasan tanpa kontrol dalam wilayah teknis verifikasi faktual ini merupakan ‘arena manipulasi’.

 

Pilkada tanpa rule of law

Dalam negara hukum, recht (hukum) dan macht (kuasa) seharusnya dibedakan dengan baik. Saat ini dalam prakteknya KPU Kota Kupang mengabaikan hukum (recht), dan hanya bermain kuasa (macht). Fokus terhadap aspek administratif semata sebagai ‘ruang politik manipulasi’ telah membutakan KPU Kota Kupang terhadap ketidakadilan struktural yang ada di depan mata, maupun pelanggaran substantif yang dilakukan KPU sendiri.

Dalam proses verifikasi administratif ini, KPU Kota Kupang tidak melihat antusiasme orang kecil terlibat dalam proses politik.  KPU Kota Kupang lupa melihat warga miskin yang menjadi pendukung Viktori yang setiap tahun pindah kontrakan dan alamatnya di KTP berubah. KPU Kota Kupang juga tidak pernah tahu ada pendukung yang menangis karena rumahnya kami datangi langsung. Nuansa manusiawi ini hilang dengan model pengelolaan KPU bermental pejabat.

Secara kasat mata kami melihat para pejabat publik yang berfungsi sebagai penyelenggara dan pengawas juga dulu merupakan kaum pejalan kaki. Mereka yang dulu aktif menulis soal ketidakadilan, tetapi di saat yang sama tutup mata terhadap ketidakadilan. Manusia yang lupa jalan pulang, ibarat kacang lupa kulit.Kepada mereka ini turun secara terhormat dari jabatan publik sudah merupakan keharusan.

Birokrasi yang buta hati, birokrasi yang tidak menggunakan nalar pasti akrab dengan manipulasi. Birokrasi yang tidak menjunjung persamaan semua warga dimata hukum menjadi birokrasi yang penakut, takluk pada tekanan. Sehingga ‘mereka yang besar’ boleh berbuka sesuka hati. Sebaliknya kepada warga yang tak berduit, kaum pejalan kaki, kesewenang-wenangan merupakan gambaran umum.

Ke depan seluruh lembaga publik mulai dari KPU dan Panwaslu Kota, Bawaslu Provinsi NTT maupun KPU Provinsi NTT serta PPS, maupun jabatan publik yang mengatur tentang penyelenggaraan Pilkada perlu direbut oleh publik. Selain jabatan-jabatan administratif dalam KPU Kota Kupang pun perlu ditelaah dengan saksama, sebab di sini lah ruang manipulasi terbuka, dan para ‘pejabat publik’ titipan politikus status quo bersarang.

Bukti-bukti pelanggaran yang dilakukan KPU Kota Kupang siap kami buka dan beberkan kepada publik. Pleno tertutup yang dijalankan merupakan cermin ketakutan sekaligus upaya mendiamkan pertanyaan-pertanyaan yang kami sampaikan atas pelanggaran berjenjang dalam sidang pleno mulai dari kecamatan hingga kota.

Politik bukan lah merupakan perkara individual, tetapi merupakan perkara publik. Jadi, jawaban kami tetap sama seperti dalam satu jumpa pers Viktori ketika ada pertanyaan dari salah seorang wartawan, “Apakah Viktori merasa dirugikan?” Kami balik bertanya, “Bagaimana dengan anda?” Suara hati yang telah ditawan oleh kuasa uang, materi, dan ketakutan pasti tidak lagi berfungsi, akibatnya benar dan salah yang sederhana pun tidak mudah untuk ditentukan, bahkan sering kali jawaban apologetik yang malah muncul ‘ini persoalan rumit’.

Ketika orang tak tahu cara menulis tentang ketidakadilan, kita perlu merasa resah. Ketika kriminalitas diterima sebagai hal biasa, maka tentu ada yang salah. Hidup publik tanpa haluan, tanpa kompas, pasti tersesat.

Kota tanpa keutamaan publik seperti kuburan tua, yang seluruh nisannya telah dicongkel. Lembaga-lembaga publik yang mentolerir perilaku kriminal dan diam terhadap ketidakadilan, ibarat para pencongkel batu nisan yang membawa pulang ‘nisan publik’. Jabatan publik harus diisi orang baik dan berintegritas. Rasa keadilan adalah rumah sebuah kota yang harus dipertahankan, agar kita masih bisa pulang.

*Warga Kota Kupang bekerja untuk Paket Viktori (Matheos Viktor Messakh-Victor Manbait)


Leave a comment

Pilkada, Indipendensi Penyelenggara, dan Paket Non Birokrat di Kota Kupang


 

Oleh: Dominggus Elcid Li

 

Pilkada Kota Kupang kali ini cenderung akrab dengan intrik elit. Hal ini ditandai dengan kuatnya peran ‘invisible hand’. Meskipun intrik adalah wajah dominan, namun diabaikan. Untuk paham intrik, pemahaman awal terhadap proses dan alur merupakan dasar utama.

Menjegal dan mendukung menggunakan institusi penyelenggara pemilu menjadi karakter utama Pilkada Kota Kupang kali ini. Upaya menjegal satu-satunya calon dari golongan non PNS dialami oleh Paket Viktori, pasangan Matheos Viktor Messakh dan Victor Manbait. Viktor Messakh yang biasa dipanggil Atok adalah mantan jurnalis The Jakarta Post dan kini Pemimpin redaksi Satutimor.Com, sedangkan Victor Manbait adalah Direktur LSM Lakmas Cendana Wangi. Kedua pemuda berani ini telah membuktikan bahwa adalah mungkin warga Non PNS masuk dalam gelanggang politik.

Di Kota Kupang, yang dicap sebagai kota pe-en-es ini, keterlibatan warga Non PNS bukan merupakan hal biasa. Pertanyaan Ospek yang biasa ditanyakan kepada mereka adalah: ‘tanam kelapa dimana’ atau ‘sudah bikin apa’. Kerangka pemikirannya khas ‘pemilik trayek lama’ jalur bemo. Angkutan kota yang boleh jalan hanya lah yang punya izin trayek, atau sudah lama ‘ngetem’ di situ. Akibatnya bemo Kupang ‘sonde jadi doi lai’. Mogok, tidak kuat naik bukit adalah pemandangan biasa. Meskipun kekurangan daya ini coba ditutupi dengan volume speaker yang luar biasa besar, warna-warni cat dan pelapis kaca mobil.

Jadi ketika ‘kaum pejalan kaki ini’ berhasil kumpulkan dukungan sebanyak 22.708 pendukung, orang sempat heran. Proses pengumpulan tidak menjadi bahan belajar, sebaliknya watak kolonial lah yang dipraktekan oleh KPU, Panwaslu dan Bawaslu. Watak kolonial adalah ujaran pejabat yang menolak untuk dibantah dengan data dan analisis. Atau dalam bahasa angkot ‘dilarang mendahului’. Jika coba mendaftar, tahu sendiri akibatnya. Bahkan para pejabat ini jangan sampai dibuat tersinggung dengan kritik.

 

Akrobat Penyelenggara Pemilu

Tahap pertama proses penjegalan dimulai dari proses verifikasi faktual dari KPU. Hingga hari H, insiatif untuk koordinasi verifikasi faktual tidak datang dari KPU, sebaliknya pasangan calon ini lah yang mengundang KPU untuk memberikan materi rencana verifikasi dan mekanisme koordinasi. Bisa diterka, di lapangan verifikasi berjalan amburadul. Atas perintah KPU Kota Kupang seluruh nama yang yang tidak dikunjungi sama sekali digolongkan dalam TMS (Tidak Memenuhi Syarat). Pertanyaan sederhana yang tidak bisa dijawab oleh KPU Kota Kupang hingga hari ini adalah ‘di mana daftar nama yang telah dikunjungi’. Manipulasi ini tidak pernah dijawab, dan dibuka media.

Protes terhadap kerja KPU dilayangkan mulai dari level pertemuan kelurahan, pleno kecamatan hingga pleno KPU Kota Kupang. Seluruh keberatan yang ditulis Viktori diakomodir oleh Panwaslu Kota Kupang. Panwaslu Kota Kupang lalu merekomendasikan kepada KPU Kota Kupang untuk menindaklanjuti perkara ini dengan cara sebebas-bebasnya. Rekomendasi yang paradoksal.

Keberatan utama Paket Viktori adalah proses verifikasi model sensus yang dilakukan KPU Kota Kupang jauh dari makna sensus. Kenapa mereka yang tidak dikunjungi dikategorikan TMS (Tidak Memenuhi Syarat)?

 

Gajah ketemu Gajah = Banyak Polisi

Keberatan terhadap keputusan KPU yang meniadakan pendukung Viktori yang tidak dikunjungi disampaikan kepada Panwaslu Kota Kupang dengan bukti video sebanyak 180 buah untuk dipelajari. Dari seluruh video ini hanya dua yang dilihat oleh Panwaslu. Keputusan Panwaslu menolak gugatan Viktori tanpa ada analisis hukum, maupun penjelasan penolakan. Hal ini menunjukkan bahwa aslinya Panwaslu tidak memiliki keberatan terhadap tuntutan dan penjelasan Viktori.

Sayangnya protes yang dilayangkan oleh Viktori makin runyam ketika Panwaslu dibekukan oleh Bawaslu Provinsi atas perintah Bawaslu pusat. Rekomendasi yang ditulis oleh Bawaslu pusat hanya mempersoalkan keputusan Panwaslu atas ‘mutasi pegawai’ yang dilakukan Jonas Salean.

Drama ini pun berlanjut. Pihak penyelenggara dari Bawaslu pusat, Bawaslu Provinsi NTT, hingga KPU Kota Kupang hanya mengurus pencalonan Jonas Salean. Sedangkan protes dari Viktori sama sekali tidak dibahas. Karena tidak dibahas media pun diam.

 

Barang Bukti Jadi Properti Penyelenggara?

Tak berhenti di situ paket rakyat jelata ini dikerjai oleh para penyelenggara. Ketika kedua pemuda ini bertanya kemana 180 barang bukti yang sudah diserahkan kepada Panwaslu, keduanya dipingpong selama tiga hari. Di sekretariat Panwaslu Kota Kupang yang sudah dibekukan pengurusnya, mereka menjawab ‘tidak tahu’. Ger Atawuwur, sebagai Ketua Panwaslu Kota Kupang yang dibekukan menjawab ia hanya menerima soft copy. Sedangkan Yemris Fointuna, mantan wartawan Jakarta Post yang jadi anggota Bawaslu Provinsi NTT, pun menjawab ‘tidak tahu dan akan dicari’.

Hari ini, 16 November 2016, Bawaslu Provinsi NTT, atas nama Saudara Yemris Fointuna menulis surat bahwa permintaan kembali dokumen-dokumen asli yang disampaikan kepada Panwas Kota Kupang tidak dapat diberikan karena (1) dokumen asli maupun salinan merupakan dokumen pendukung dalam proses penyelesaian musyawarah sengketa Pemilu yang hasilnya sudah diputuskan pada tanggal 7 November 2016 sehingga seluruh dokumen terkait menjadi milik Panwaslu. Padahal dokumen-dokumen ini dibutuhkan untuk dipakai sebagai alat bukti dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara di Surabaya. Tak hanya itu putusan, berita acara dalam musyawarah sengketa maupun notulensi sidang Pilkada Kota pun tidak diberikan. Kejanggalan ini juga dirasakan oleh hakim PTUN Surabaya

Setidaknya dua hal yang perlu menjadi pertimbangan Bawaslu Provinsi NTT, dan para penasehat hukumnya. Pertama, sejak pleno di tingkat kelurahan, hingga kota di KPU Kota Kupang sengketa Pemilu ini tidak dibahas dan dibuktikan secara tertulis. Kedua, di tingkat musyawarah sengketa Pemilu di Panwaslu Kota Kupang, dari 180 bukti yang diserahkan hanya dua bukti yang dikaji dalam persidangan.  Bagaimana dengan analisanya? Ketiga, kehadiran dua staf Bawaslu pusat dalam perhelatan Pilkada Kota Kupang memang janggal, apalagi ‘staf Bawaslu pusat ‘hanya mengurusi’ masalah satu pasang calon. Sedangkan keberatan dan persoalan mendasar terkait soal ‘verifikasi faktual’ dianggap bukan lah soal. Seharusnya Bawaslu Provinsi NTT bisa berpikir bahwa antara proses dan hasil adalah satu paket. Menerima hasil, tanpa mengkaji proses merupakan tanda tanya.

Sampai di sini, kita bisa sama-sama lihat bahwa ‘teror’ dan kekuatan massa merupakan alat efektif dalam politik Pilkada. Tidak hanya di Jakarta, di Kupang juga sama. Sayangnya ulasan semacam ini tidak kita temukan di media massa. Horor dan yang jelek senantiasa ada di seberang lautan, sementara di rumah sendiri manipulasi adalah jati diri.

 

*Penulis adalah Warga Kota Kupang yang bekerja untuk Atok-Viktor (Viktori) dalam Pilkada Kota Kupang.


Leave a comment

Membaca Ulang Krisis Reformasi


Oleh: Dominggus Elcid Li

 

Demokrasi sebagai cita-cita bersama yang diharapkan dapat menjadi platform baru dalam mengatur kehidupan bernegara sekaligus kritik terhadap Orde Baru kian jauh dari harapan. Dalam wacana para pejuang demokrasi di akhir tahun 1990-an, kata-kata kunci semacam: anti rezim otoriter, anti militerisme, merupakan kata-kata dominan untuk mengritik dominasi elit militer dalam sistem Orde Baru. Di tahun 2017, nada optimis tentang sistem demokrasi yang digagas dalam 18 tahun terakhir kian menghilang.

Sistem demokrasi yang diperjuangkan sedang berada dalam krisis panjang. Tantangan utama yang sangat terlihat adalah: pertama, demokrasi saat ini cenderung hanya lah formalitas, kesempatan orang banyak (the commons) untuk maju ke gelanggang politik semakin dibatasi, dan cenderung hanya menjadi penonton. Kedua, partai-partai politik gagal melakukan proses institusionalisi sistem kepartaian. Ketiga, praktek berpolitik amat jauh dari demokrasi substantif, sebaliknya manipulasi dan kamuflase merupakan fenomena dominan.

Nalar Demokrasi Setengah

Kecenderungan orang banyak yang hanya menjadi penonton dalam era demokrasi kita sebut sebagai nalar demokrasi setengah. Pemerintah memiliki hak penuh untuk melarang orang menganjurkan ‘golput’ dalam pemilihan umum, tetapi sebaliknya hak untuk dipilih tidak menjadi perhatian para pembuat undang-undang. Dari pusat hingga pinggiran Indonesia, skema demokrasi cenderung mengaminkan konsep ‘demokrasi setengah’ yang mengabaikan hak warga untuk dipilih.  Warga sekedar menjadi penggembira yang suaranya diatur seperti dalam sit com.

Jika dalam ilmu ekonomi gini coefficient merupakan skala yang dipakai untuk memotret kesenjangan ekonomi warga negara, maka jika diterapkan dalam bidang partisipasi pemilu bisa dilihat kaum apa saja yang bisa dipilih, atau jika ingin dibuka lebih saksama kita juga bisa melihat ‘jenis kaum macam mana’ yang bisa menentukan siapa yang bisa dipilih. Kesenjangan antara hak untuk memilih dan hak untuk dipilih tidak menjadi bahan diskusi.

Hal mendasar yang berkembang dalam sistem demokrasi liberal saat ini adalah mereka yang kuat secara finansial mendominasi. Skema demokrasi kerakyatan gagal dibangun di era reformasi, dan hanya di segelintir tempat para pemimpin populis yang berhasil muncul. Sebaliknya secara umum hegemoni partai politik tetapi melanggengkan skema orang kuat. Diksi kuat di sini adalah orang yang secara finansial mampu membiayai demokrasi padat uang dan mampu ‘membeli’ suara. Proses pembelian suara pun tidak mesti vulgar, penggunaan instrumen conditional cash transfer merupakan hal legal dan jamak dilakukan.

 

Kegagalan Partai Politik

Kegagalan partai politik melakukan proses institusionalisasi partai-partai politik tercermin dari dominannya aksi jalanan ekstra parlemen, dan aksi  perang media sosial (cyber war).  Dominasi orang kuat dalam partai politik hanya melanggengkan sistem patron-client dan platform partai-partai politik cenderung hanya menjadi slogan kosong. Keterpisahan antara laku atau praktek politik dengan slogan partai politik merupakan hal biasa. Sebab secara umum apa yang tertulis secara formal amat berbeda dengan kenyataan riil yang dilakukan.

Tingginya biaya transaksi politik telah membuat partai-partai politik memalingkan wajah dari para calon yang memiliki kapasitas tetapi tidak berduit. Secara riil demokrasi padat modal telah membuat para calon yang memiliki dedikasi tersingkir dari gelanggang di tahap awal, bahkan tak sempat menjadi bakal calon.  Selain harga pintu partai telah menjadi amat mahal, suara warga pun telah menjadi komoditas tersendiri. Singkatnya, tanpa uang maka daya politik tidak ada. Solidaritas telah diganti oleh interest dalam sistem pasar suara.

Ruang politik saat ini bisa dikatakan amat didikte oleh mekanisme pasar, dan tanpa kontrol. Ruang politik ada dalam hela nafas laissez-faire. Artinya suara rakyat bukan menjadi bahan pertimbangan, sebaliknya ‘suara rakyat’ hanya lah sekedar jargon untuk berkomunikasi sesaat agar ritus formalnya terpenuhi.

Politik berbiaya tinggi tak hanya menjadi ancaman terhadap sistem demokrasi, tetapi secara langsung ini merupakan ancaman terhadap eksistensi negara. Sebab secara substantif nalarnya berubah. Warga negaranya yang seharusnya ada dalam posisi egaliter, hanya diposisikan sebagai ‘penerima santunan’.

 

Demokrasi Substantif

Di ujung  tahun 2016, salah satu trend baru yang muncul adalah pengerahan massa yang turut ditukangi atau disertai oleh partai-partai politik. Gelanggang DPR atau skema pemilihan umum ditinggalkan oleh partai-partai politik. Pengerahan massa dan penggerahan cyber troops menjadi pilihan utama. ‘Intrik politik’ menjadi wajah dominan. Partai-partai politik memindahkan titik konflik ke media audiovisual, media sosial, dan jalanan.

Harapan warga agar demokrasi yang berkualitas dibawa para elit, semakin pudar karena kosongnya kemampuan para elit untuk memimpin warga digantikan dengan tehnik manipulasi berbasis sistem informasi. Perbicangan rasional semakin ditinggalkan dan diganti dengan propaganda. Hal yang paling tampak dalam keriuhan ruang bersama di Indonesia adalah nalar substantif ditinggalkan. Kini orang tidak lagi bertanya tentang kualitas ide, tetapi berapa banyak orang yang mengusung ide. Padahal jika dimengerti dengan baik, inovasi demokrasi tidak berbanding lurus dengan jumlah.

Ketidakmampuan partai-partai politik untuk melakukan institusionalisasi demokrasi hanya melahirkan ‘kaum feodal baru’ dimana regenerasi politik hanya didasarkan pada garis keturunan, perkoncoan, dan politik orang kuat secara finansial. Di titik ini partai politik telah menjadi sebuah enclave yang terasing dari rakyatnya sendiri.

 

Krisis dan Sejarah Demokrasi Indonesia

Satu tahun menjelang dua dekade ‘era reformasi’ atau pasca Soeharto proses reformasi ada dalam krisis. Paradoksnya adalah institusi-institusi politik yang selama ini mendapatkan keistimewaan luar biasa dalam sistem politik kita tidak menawarkan jalan keluar, tetapi sebaliknya malah memanfaatkan anomali atau ikut dalam proses manipulasi terhadap sistem demokrasi melalui sabotase informasi. Propaganda yang dilakukan oleh para aktor jenis ini telah membuat ruang bersama selalu berada dalam posisi emergency.

Sejak awal krisis peralihan sistem tidak dipahami. Demokrasi liberal yang diadopsi di Indonesia tahun 1950-an (Feith, 1962), dan kembali dihidupkan di tahun 1998 mengabaikan platform dasarnya dan hanya bisa dimengerti dalam konteks sejarah organisasi politik moderen. Sejak munculnya berbagai organisasi moderen, terutama di tahun 1920-an, formasi organisasi politik di Indonesia mengikuti skema verzuiling Belanda berdasarkan pilar-pilar keagamaan maupun partai berbasis idiologi moderen seperti partai sosialis, partai liberal, dan partai komunis.

Dalam sistem pilar (verzuiling), institusi keagamaan dalam masyarakat diterjemahkan dalam partai-partai politik. Jika di Belanda tahun 1897 misalnya formasi partai politik dibagi menjadi: Partai Liberal, Sosialis, Roman Catholics, Christian Historical Union, dan Anti Revolutionary Party. Di Indonesia di tahun  1921, komposisi Volksraad diantarnya terdiri dari NIVB (Netherlands Indies Liberal Association), CEP (Christian Ethical Party), IKP (Indies Catholic Party), dan Sarekat Islam (Schumutzer 1977).

Tanpa berupaya memahami sejarah sistem verzuiling yang menjadi cikal bakal organisasi moderen Indonesia dan hanya melihat perkara Pancasila/Piagam Jakarta, political islam dalam konteks global, serta mereduksinya dalam kontrol wacana ala Orde Baru berbingkai SARA yang ditelurkan Kopkamtib tahun 1974, maka kita semakin jauh dari titik pengertian.

Gagalnya institusionalisasi sistem demokrasi di era reformasi (1998-sekarang) tercermin dari semakin sedikitnya partai politik, semakin sulitnya akses ke dalam partai politik, dan semakin mahalnya biaya berpolitik. Konsep dasar verzuiling adalah integrasi sosial, dan konflik diselesaikan dalam sistem politik. Ketidakmampuan para elit Indonesia melakukan integrasi sistem sosial ke dalam sistem politik dan hanya bermain dalam perang informasi semakin menjauhkan kita dari semangat reformasi.

Gagalnya para elit Indonesia fase pertama Republik menyelesaikan konflik berujung pada tragedi 1965. Model dasarnya serupa, krisis internal ditarik dan terjebak dalam skema konflik perang dingin. Saat ini krisis internal di kalangan elit ditarik kembali dalam skema konflik global jihad. Sayangnya, ketidakmampuan kolektif untuk keluar dari jebakan skema ‘konflik global’ yang mematikan tidak dimiliki oleh para elit politik dan sejarah tragedi perang dingin di Indonesia di tahun 1965 tidak dipelajari. Saat ini para elit-elit partai politik benar-benar ada di titik nadir, karena sumbu devide et impera ada di tangan para elit partai politik. Jutaan warga digiring untuk berkelahi sekedar untuk memenuhi ambisi segelintir orang. Pembodohan semacam ini harus diakhiri.

Ruang media sosial kini dipenuhi oleh para cyber troops generasi Z yang dimainkan oleh para elit politik yang cenderung paralel dengan skema global jihad versus anti global jihad. Jika kita seolah dihadapkan pada konfrontasi golongan Islam sentris vs Nasionalis (termasuk di dalamnya Islam Nasionalis), maka kita patut juga belajar bahwa sekian pilar politik dalam bentuk partai politik telah hilang atas nama klaim mayoritas. Indonesia bukan hanya Jakarta. Indonesia bukan hanya Islam vs Non-Islam.

Selama kaum partai politik Jakarta sentris menempatkan diri sebagai golongan eksklusif yang merasa ‘paling berkeringat’ dalam bernegara dan menolak kritik egalitarian maka krisis reformasi juga tidak mendapatkan jalan keluar. Ketakutan aparat partai terhadap dominasi pasar terhadap suara politik harus dibedakan dengan penutupan akses politik warga yang tidak terakomodir dalam jalur partai politik–yang sangat mahal.

Institusionalisasi sistem demokrasi di Indonesia hanya mungkin dilanjutkan jika partisipasi politik dikembalilkan dalam skema egalitarian. Partisipasi politik pun merupakan hak warga negara, dan bukan seperti saat ini dijadikan komoditas dan sasaran diskriminasi.

Untuk keluar dari krisis, kita membutuhkan upaya membaca ulang patahan sejarah politik Indonesia, sambil tetap peka terhadap arus geopolitik dunia, dan secara riil melakukan konsolidasi dan integrasi sistem politik Indonesia secara terus menerus.  Dalam posisi ini kita membutuhkan negarawan yang memahami bagaimana melanjutkan statecraft Indonesia, dan bukan politikus opurtunis. Sayangnya, politikus semacam ini juga kosong dalam ruang partai karena partai-partai politik pun ada dalam tawanan interest pasar.

 

*Direktur IRGSC (Institute of Resource Governance and Social Change), peminat sosiologi sejarah tinggal di Kupang, NTT.


Leave a comment

Kuota Sapi Gubernur dan Kapal Jokowi


Oleh: Dominggus Elcid Li*

 

Apakah mungkin kesejahteraan petani-peternak sapi asal NTT meningkat? Pertanyaan ini bisa dengan cepat dijawab ‘Ya’, karena teorinya ketika permintaan pasar Indonesia tinggi, pintu impor sapi juga dibatasi, maka para peternak sapi lokal berpeluang untung.

Prakteknya distribusi rabat kepada produsen nyaris bukan prioritas para pembuat kebijakan. Keterlambatan SK Gubernur NTT untuk mengeluarkan jumlah kuota sapi menjadi keluhan pengusaha sapi (Victory News, 22/2/2017, hal.9, & Timor Express, 22/2/2017, hal.1), karena sapi tertahan di karantina hewan di Tenau. Apa pun alasan keterlambatan, hal ini berdampak pada membesarnya biaya pengiriman sapi. Secara akumulatif beban keterlambatan yang diterima pengusaha sapi, juga akan ditanggung oleh petani, dan berpengaruh pada daya saing komoditas sapi asal NTT.

Fakta yang muncul sebagai dampak dari keterlambatan kuota sapi antara lain: laju rantai perdagangan sapi terhenti di pedalaman Timor (selain untuk RPH lokal maupun konsumsi lokal), biaya membengkak karena sapi tertahan di karantina, dan skema pembayaran utang pengusaha di bank tidak sesuai rencana. Tingginya angka permintaan sapi dari Pulau Jawa, dan Kalimantan, sudah seharusnya didukung oleh efisiensi di tingkat supply chain agar sapi asal NTT dapat bersaing.

Usaha memangkas dwelling time yang dilakukan oleh Presiden Jokowi di berbagai pelabuhan dengan konsep tol laut, termasuk di dalamnya dengan kapal pengangkut sapi, merupakan langkah konkrit untuk menaikan daya saing produk asal berbagai daerah untuk pasar dalam negeri. Meskipun kapasitasnya masih terbatas, sebab ‘kapal Jokowi’ baru mampu menampung sekitar 20 % dari total 60 ribu sapi asal NTT tahun 2016.

Cerita terlambat tidak hanya terjadi di NTT, namun dalam nuansa persaingan dagang. Keterlambatan proses pengiriman sapi asal NTT juga terjadi di wilayah Provinsi Jawa Timur tahun 2011 dan 2016, dengna klaim sapi NTT terkena anhtrax. Tahun 2011 Gubernur Jawa Timur membuat sapi asal NTT terkatung-katung di wilayah laut Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya (Kompas.com, 11 April 2011). Akibatnya bobot sapi turun, dan nilai jual turun, pengusaha merugi, dan ujungnya juga berdampak pada petani.

Jawa Timur merupakan salah satu produsen sapi nasional, dan per harinya mengirimkan 650 ekor sapi ke Jakarta. Tahun lalu kuota pengiriman sapi NTT keluar sebesar 60 ribu ekor, atau kurang lebih sekitar 164 ekor per hari. Tudingan Gubernur Jawa Timur bisa dibilang mengada-ada karena pengiriman sapi dari NTT ‘harus’ melalui karantina hewan selama 7 hari. Dampak tudingan ini berpotensi memberi stigma anthrax untuk komoditas sapi asal NTT.

Tingginya tingkat kompetisi komoditas sapi dalam negeri sebagai dampak kebijakan dari pembatasan impor sapi, seharusnya memaksa kita untuk menjaga daya saing sapi asal NTT dengan komoditas sejenis asal provinsi lain yang menjadi kompetitor seperti Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Lampung, Bali, DIY, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan NTB. Kenyataannya institusi eksekutif dan legislatif Provinsi NTT tidak cukup peka terhadap bagaimana memperkuat daya saing sapi asal NTT.

 

Kritik Regulasi

Kritik terhadap regulasi komoditas sapi di NTT sudah menjadi catatan penelitian berbagai lembaga  (Smeru 2007; Pikul & Asia Foundation 2013). Kritik penelitian Smeru (2007) menyasar tingginya angka pungutan di berbagai level yang membuat sapi potong NTT berubah menjadi ‘sapi perah’.

Jika para pengusaha mempersoalkan SK Gubernur NTT yang mengatur tentang kuota sapi maka ini tidak tidak bisa lepas dari Peraturan Daerah No.10 Tahun 2003 tentang ‘Sertifikasi  Bibit dan Izin Pengeluaran Ternak Besar di NTT’, dan Peraturan Gubernur No. 15 tahun 2012  (Lampiran No.51).

Ada empat hal mendasar yang termuat dalam kedua peraturan ini yang perlu diperbaiki sebagai bentuk dukungan pemerintah dan lembaga legislatif untuk para peternak, maupun sebagai bentuk usaha pemerintah setempat untuk bersinergi dengan kebijakan pemerintah pusat.

Pertama, upaya Presiden Jokowi dengan kapal sapi seharusnya mendorong Pemda Provinsi NTT dan DPRD NTT untuk melakukan revisi terhadap Perda No.10 tahun 2003, maupun Pergub No.15 tetang mekanisme ‘pengeluaran sapi’ atau ternak besar dari NTT. Upaya untuk membuka bottle neck pengiriman komoditas sapi asal NTT harus segera dilakukan. Bisa diperiksa jumlah ‘Badan Usaha’ yang memiliki hak untuk menguarkan sapi asal NTT jumlah yang aktif di bawah 10 jari, bandingkan dengan jumlah peternak yang jumlahnya ribuan, maupun potensi Bumdes asal NTT yang jumlahnya berpotensi mencapai angka 500-an. Pertanyaannya, apakah tidak ada kebijakan yang bisa direvisi yang membuat akses para-peternak semakin dekat ke ‘pintu keluar’?

Seharusnya dengan adanya ‘kapal Jokowi’ usaha pengiriman sapi ke Pulau Jawa menjadi lebih mudah dan lebih pro petani. Ternyata hal itu tidak terjadi. Salah satu persoalan mendasar terletak pada Perda No.10 tahun 2003 di Pasal 6 ayat 1, 2, dan 3 yang isinya: 1) Setiap Badan Usaha yang akan mengeluarkan ternak besar harus mendapat izin pengeluaran ternak dari Gubernur. 2) Untuk memperoleh izin pengeluaran ternak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini pemohon harus mengajukan permohonan kepada Gubernur melalui Dinas Peternakan dan tembusannya kepada Dinas Peternakan/pertanian Kabupaten/kota dan 3) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ini harus dilampirkan sebagai berikut: a.Salinan Akte Pendirian Badan Usaha yang dilegalisir oleh pejabat yang berwenang; b.Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)/Surat Keterangan Fiskal Daerah (SKFD); c.Surat Tempat Isin Usaha (SITU); d.Referensi Bank; e.Copy Surat Izin Perdagangan Antar Pulau (SIPAP); f.Keterangan dari Dinas peternakan/Pertanian Kabupaten/Kota tentang  lokasi/wilayah tersebut bebas penyakit menular menurut peraturan yang berlaku; g.Rekomendasi dari Dinas Peternakan/Pertanian Kabupaten/Kota tentang lokasi/wilayah tersebut bebas penyakit menular menurut peraturan yang berlaku; h.Laporan realisasi pengeluaran ternak bagi izin sebelumnya.

Seharusnya dengan munculnya sekian regulasi baru di pusat, dan kelembagaan baru, terutama melalui UU Desa, rantai niaga sapi di daerah bisa dipangkas agar menjadi lebih pendek, sekaligus dapat mengakomodir kepentingan para petani. Jika melihat Perda di atas, petani akan cenderung kesulitan memenuhi syarat-syarat ‘badan usaha’ seperti yang tertera di atas. Padahal Bumdes (Badan Usaha Milik Desa) bisa diorganisir untuk mengoptimalkan kepentingan para petani.

Pemerintah Provinsi NTT maupun DPRD perlu melakukan telaah ulang atas Perda maupun peraturan lain sejenis yang menghambat pelaku usaha muncul dari desa. Sederhananya, semakin panjang rantai nilai maka semakin kecil keuntungan yang didapat petani-peternak di bagian hulu. Dengan ‘menghitung’ Bumdes dan menaikan kapasitasnya skema pengiriman kapal sapi bisa diperuntukan kepada Bumdes, dan bukan untuk mensubsidi pengusaha besar baik dari NTT maupun dari DKI atau Jawa Barat. Dengan langsung fokus ke desa, diharapkan kesenjangan pendapatan dapat dipangkas, akses kepada pelaku pedesaan semakin terbuka dan diharapkan secara sistematis dapat mengurangi jumlah penduduk miskin.

Kedua, penerapan kuota sapi perlu didukung dengan transparansi pemberian kuota dan alasan rasional yang menjadi dasar pemberian kuota. Gubernur NTT harus mampu menjelaskan secara lugas bagaimana kuota sapi dibagi, dan siapa saja yang berhak mendapatkan kuota sapi. Skenario pembagian kuota sapi tanpa memperhatikan keadilan ekonomi membuat orang bertanya bagaimana keterkaitan program Anggur Merah, yang berhasil menaikan populasi sapi, dengan strategi di hilir. Kebijakan kuota sapi Gubernur NTT dengan program unggulan Anggur Merah, tidak sinkron dengan pasar dalam perspektif para petani.

Ketiga, kehadiran kapal Jokowi berpeluang merubah struktur pasar sapi di NTT untuk menjadi lebih pro petani. Contohnya semula komoditas sapi dikuasai oleh para ‘pemain lama’ yang bergerak di NTT dan mempunyai jaringan nasional. Kini dengan masuknya kapal sapi, para pemain baru pengusaha sapi asal DKI dan Jawa Barat juga langsung mengambil sapi di NTT. Upaya menekan harga sapi di wilayah Jabotabek dilakukan dengan mengakses langsung sapi ke NTT. Sebab ‘kapal Jokowi’ jelas terkait upaya dari pemerintah ibukota menekan harga daging sapi di sana, namun perspektif yang mewakili para petani-peternak, maupun pengusaha lokal seolah kosong dan tidak mendapatkan tempat.

Keempat, dampak dan efektivitas kuota sapi perlu diperdebatkan secara serius oleh para pakar di bidang ini. Apakah memasang ‘palang keluar’ dampaknya lebih positif untuk pengembangan sapi? Misalnya ke depan bisa diusulkan jika penentuan kuota sapi juga didasarkan pada jumlah kepemilikan sapi betina. Dengan cara ini kuota mendapatkan jangkar rasionalnya dan tidak hanya sekedar bagi-bagi kue. Dengan memberikan insentif ini dan alasan mekanisme penentuan kuota, diharapkan sapi betina produktif tidak masuk ke ruang jagal, tetapi dibeli oleh Badan Usaha dan Bumdes, maupun kelompok-kelompok binaan petani.

Upaya untuk merevisi Perda Provinsi NTT No.10 tahun 2003–maupun peraturan turunannya, dan peraturan lain terkait–perlu melibatkan para pakar lintas ilmu yang berorientasi: (1) meningkatkan daya saing komoditas sapi asal NTT, (2) menjadikan sapi sebagai alat ungkit kesejahteraan petani, dan (3) membuka peluang untuk pengusaha-pengusaha asal NTT untuk melakukan inovasi dalam perdagangan sapi.

Inovasi masih harus dilanjutkan. Pengiriman daging beku, pengolahan tulang, penyamakan kulit hingga pembuatan industri daging kaleng, seharusnya bisa terus diperjuangkan sehingga komoditas unggulan asal NTT ini semakin memberi dampak lebih luas. Upaya riil Pemda, maupun berbagai lembaga keuangan yang bergerak di NTT, untuk menyelamatkan sapi betina produktif dari tempat jagal ditunggu.

Sudah saatnya bottle neck dalam perdagangan sapi ini dibuka, sudah saatnya dasar-dasar kuota sapi dikaji tuntas. Visi kapal Jokowi yang pro petani harus mampu diturunkan dalam tata niaga yang adil (fair) di NTT. Tanpa prinsip dasar ini sulit kita berharap bahwa kapal sapi asal Jokowi dapat menjawab kebutuhan para petani-peternak. Jangan heran jika kapal sapi dibiarkan parkir lama, datang kosong, atau pulang kosong.

Sudah saatnya pembicaraan tentang provinsi sapi, maupun tindakan mengurangi kemiskinan diturunkan dalam tataran kebijakan. Setiap kali kita terlambat beraksi, setiap saat pula kita menutup mata terhadap peluang untuk memberantas kemiskinan. Sudah saatnya jargon pro rakyat diterjemahkan secara gamblang.

Pemda Provinsi dan DPRD NTT perlu bergerak cepat untuk menata ulang regulasi sapi agar nasibnya tidak seperti kayu cendana yang pernah terkenal sekian abad dan kini punah. Cendana sebagai komoditas unggulan pernah disebut sebagai ‘kayu bermasalah’ (hau malasi), dan anakannya pun dimatikan jika muncul di halaman.

Kekeliruan Perda cendana terlambat diantisipasi dan berdampak pada punahnya cendana. Saat ini kondisi serupa juga terjadi pada komoditas sapi,  sapi-sapi betina ditemukan di berbagai rumah jagal. Tanpa langkah serius, sapi yang dibawa pemerintah Hindia Belanda ke ‘wilayah NTT’ di awal tahun 1900-an nasibnya lebih cepat punah. Kekeliruan ‘kebijakan’, dan tata niaga yang tidak adil semakin mempercepat kepunahan sapi.

 

*Peneliti IRGSC (Institute Resource Governance and Social Change), anggota Forum Academia NTT


1 Comment

Kapan Anak NTT Berhenti Bermimpi?


 

Oleh: Dominggus Elcid Li*

 

Dalam sebuah survei ketika anak-anak NTT ditanya apa cita-citanya. Mereka menjawab riang mulai dari astronot, guru, hingga hansip.  Semangat semacam ini terasa jika kita keliling NTT, di pelosok NTT kita temukan anak-anak berseragam SD yang gigih ingin pergi ke sekolah ramah melambaikan tangan, ataupun serempak mengucapkan ‘selamat siang’ atau ‘selamat pagi’ ketika berpapasan. Namun kapan semangat mereka pudar, dan kapan mereka berhenti bermimpi?

Berdasarkan data BPS NTT rata-rata anak-anak NTT putus sekolah di SMP kelas satu.  Mungkin orang bisa berkilah karena fasilitas SMP dan SMA minim di daerah pelosok NTT, tetapi bagaimana menjelaskan kondisi di Kabupaten Sumba Tengah yang rata-rata anak putus sekolah di kelas lima SD. Kenapa mereka tidak melanjutkan belajar?

Ya, kita sedang tidak berbicara sekolah-sekolah elit di NTT di Kota Kupang maupun beberapa kota kabupaten yang anak-anaknya telah diajarkan berbahasa inggris, mandarin, arab sejak usia dini, bahkan anak-anak yang telah diajar untuk menulis bahasa computer sejak belia. Tetapi kita sedang berbicara soal anak-anak NTT pada umumnya. Anak-anak rakyat jelata.

Meskipun tak semua orang tua yakin, namun anak-anak biasanya lebih optimis tentang masa depan. Para orang tua biasanya menjawab getir ‘terserah anak-anak’, namun kalau ditanya lebih jauh fantasi hidup enak adalah ‘anak bisa jadi PNS’. Entah pegawai, guru, polisi, atau tentara.

 

Elit ‘Soemanto’ di NTT

Nama Soemanto sempat tenar di jagad media Indonesia. Seorang lelaki dengan mata besar melotot bertugas membongkar makam dan memakan mayat. Apakah ia mengunyah atau mencabik tentu tidak perlu kita tanyakan.

Namun, watak Soemanto manusia pemakan jenasah sebenarnya merupakan watak dasar elit NTT. Kematian beruntun puluhan para manusia perantau pencari kerja, tidak mampu menggerakan para ‘laki-laki hebat’ di kursi kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Bahkan fakta koran yang menyebutkan ratusan orang diperdagangkan setiap tahun pun tidak membuat mereka memalingkan wajah?

Namun anehnya mereka bisa sedemikian mudah tergerak untuk saling mengucapkan selamat ulang tahun meggunakan surat kabar, dengan menggunakan nama instansi dengan duit negara pula. Tak hanya itu kebiasaan buruk birokrat NTT, mereka juga gemar memasang wajah di baliho berukuran besar. Padahal di depan mata kemiskinan ganas menampakan wajah dengan teramat jelas. Entah anak jalanan yang masih mengais rupiah jelang tengah malam; entah perempuan mati dalam peti tanpa nama dan alamat jelas; entah anak-anak yang kehilangan orangtua karena pergi merantau.

Kalau Soemanto, “ia” disebut sakit jiwa. Tapi bagaimana menyebut peristiwa ini, ketika secara kolektif kita tidak merasakan ini sebagai sebuah persoalan? Mulai dari keluarga dekat hingga tokoh agama semua mendapatkan peran. Saat pelantikan pejabat, rutinitas pasti adalah keluarga mempersiapkan pesta, dan kitab suci diangkat oleh imam. Seperti dalam pesta dentuman musim dengan lagu berbahasa asing bertalu dengan kencang dan orang bergembira tanpa harus mengerti, seperti itu pula kitab suci diperlakukan. Isinya tak penting, ritusnya lah yang penting. Belum ada cerita seorang imam mengaku dosa karena telah terlibat dalam ritus semacam ini.

Tapi sudah lah ini bukan persoalan transenden, apalagi soal keselamatan. Di NTT agama-agama Abrahamik ikut tenggelam dalam struktur klan. Setiap keluarga punya imam masing-masing. Setiap keluarga punya pejabat masing-masing.  Setiap golongan agama punya pejabatnya masing-masing. Tidak peduli bagaimana kualitas mereka, yang penting itu ‘orang kita’. Jika butuh lampu jalan tinggal pindahkan, jika butuh semen 30 zak untuk bangun kamar mandi di rumah ibadah pun tinggal bikin proposal. Bagaimana mungkin kita menyebut ini ‘lingkaran setan’ ketika melibatkan ‘yang kudus’?

 

Mereka yang pergi

Pertanyaannya bagaimana dengan nasib mereka yang tak punya pejabat dalam keluarganya? Apakah tinggal di kampung merupakan pilihan? Anak-anak NTT sekarang ‘tidak tahan’ tinggal di kampung. Konsep tentang pekerjaan berubah. Konsep bekerja sangat terkait dengan kepemilikan uang tunai.

Ini pun tidak mengherankan, sejak kecil fantasi tentang orang hebat lekat dengan gambar orang berduit. Gambar paling ideal yang tergambar dalam masyarakat kita adalah menjadi pegawai. Entah kerja apa di kantor, yang pasti tiap bulan gaji jelas diterima. Fantasi semacam ini muncul sejak kecil, dan akan menjadi getir pada waktunya. Jadi jika ada anggota keluarga yang ingin menjadi pejabat, harus didukung, karena itu terkait penguasaan sumber daya. Seluruh anggota klan harus ‘muku’.

Salah satu dosa paling besar yang dilakukan oleh elit di provinsi (baca: republik) ini adalah memberikan pendidikan yang berkualitas buruk untuk anak-anak kita. Contohnya di provinsi yang sekarat semacam NTT, dana pendidikan tidak diperhatikan.

Para pejabat tidak peduli bagaimana nasib guru yang tidak menerima gaji selama sekian bulan akibat perubahan pos anggaran. Andaikan roti dan madu bisa turun dari langit, tentu anak guru tidak kelaparan. Apakah ada pejabat berempati dengan para guru yang kelaparan dan tidak mampu membayar kontrak kamar dengan ‘membagi gajinya’ atau cari akal agar para guru tak merana?

Empati kita cenderung mengering. Setiap orang berlomba melihat ke atas, dan lupa melihat yang terkapar. Anak-anak para elit disekolahkan di sekolah terbaik. Sebaliknya anak-anak rakyat jelata bersekolah apa adanya. Gambaran awal tentang modernitas terbangun lewat sekolah, seburuk apa pun sekolah itu.

Di sekolah yang gaji guru minim. Di sekolah yang gaji guru setengah tahun baru tiba. Di sekolah swasta yang tetap ‘beriman’ dengan teguh meskipun pemerintah ingin melupakan budi baik mereka. Di sekolah yang gurunya diadakan dengan konsep ‘tiada rotan akar pun jadi’. Di sekolah yang kurikulumnya mencabut anak-anak ini dari tanah-tanah sendiri. Di sekolah kampung yang untuk print buku pelajaran via e-book adalah kekonyolan yang pahit. Di sekolah yang guru-gurunya stress gaji kecil dan terlambat, bisa dibayangkan dampaknya untuk anak-anak.

Mungkinkah sekian persoalan sosial ini menjadi agenda para elit-elit hebat, para laki-laki narsis yang hobi memasang wajah di baliho sepanjang jalan via dolorosa?  Jawabannya sudah jelas ‘tidak’. Bahkan mungkin berdoa meminta hujan jauh lebih masuk akal. Hujan turun, dan bibit tumbuh. Sementara orang baik dalam sistem dicabut sejak masih berbentuk tunas.

Semua sudah ada

Di pojok kota besar hingga di kampung adat salah satu kritik sosial yang muncul adalah ‘buat apa sekolah semua sudah ada, presiden sudah, gubernur sudah ada, bupati sudah ada’. Sepintas ucapan ini dianggap tak ada artinya. Namun jika kita meluangkan waktu untuk mendengar lebih jauh maka konsep ‘keterasingan sosial’ (social exclusion) pun muncul.

Aspek-aspek yang mempengaruhi mobilitas sosial dalam wajah moderen, amat terkait dengan pengelompokan elit. Jadi bagi anak-anak yang masih sempat melanjutkan pendidikan hingga pendidikan tinggi, untuk masuk dalam kelompok elit mapan (baca: bergaji bulanan) maka syarat utamanya bukan prestasi, tetapi ‘kenal siapa’.

Wajar orang berujar ‘buat apa sekolah’. Sebab ketika sampai pada tangga tertinggi pun tidak ada jaminan bahwa ‘sukses ada di tangan’. Bukan karena anak malas sekolah, atau malas jalan kaki maka anak berhenti sekolah, tetapi karena gambaran pahit terbaca terlalu jelas di depan mata. Sekolah hanya sekedar menunda kekalahan yang pasti. Karena nepotisme merupakan elemen proses berbagi harta jarahan. Entah teman, entah bini, entah keluarga dipasang dalam jabatan publik. Urat malu kita putus.

Coba cek elit di NTT di kota berapa biji yang anaknya sekolah di SD negeri?  Di desa kebalikannya, SD negeri bergizi sedangkan SD swasta sekarat. Guru negeri pun diancam untuk dicabut. Nasib Madrasah di bawah Departemen Agama masih lebih baik. Namun dalam konteks NTT sekolah  missi dan zending saat ini ada dalam posisi ‘pikul salib’.

Pendidikan di sekolah negeri seharusnya mendapatkan perhatian lebih.  Konsep pembangunan memang bergeser mengikuti irama pasar. Dulu pendidikan moderen datang dengan pemahaman manusia lah yang harus dibangun. Sekarang lain, jembatan antar pulau lah yang harus dibangun. Entah manusia bodoh, kemampuan baca tulis rendah, atau kurang gizi itu bukan prioritas.

Selama masyarakat kita masih menganggap bahwa ‘figur-figur Soemanto’ lah yang menjadi wajah orang baik, dan orang di sekeliling aktif menadahkan tangan minta jatah, kita tidak bergeser kemana-mana. Selama kita membiarkan Yang Maha Kuasa bekerja sendirian, dan kita hanya meratap tentu perubahan juga tidak terjadi. Selama kita membiarkan anak-anak berhenti bermimpi di kelas satu SMP, kita adalah Soemanto.

Dalam kondisi semacam ini mereka yang selamat, selain mereka yang pergi dan hidup, adalah mereka yang mampu ada dalam lingkar pundi-pundi uang. Jika membaca struktur ekonomi NTT, pundi-pundi uang terbesar masih ada di tangan pemerintah. Wajar jika mereka yang tergusur total dan tidak mendapatkan tempat kemudian melontarkan pertanyaan ‘Untuk apa sekolah, jika semua sudah ada’. Sekolah dianggap sebagai tipuan massal. Ilusi yang lain.

Sudah saatnya kaum elit yang gemar berpesta kembang api, mengembalikan mimpi anak-anak NTT. Jika anak-anak anda diajar bermimpi, mengapa anak-anak lain dibiarkan mengais sampah, mendorong gerobak, menjadi pembantu, atau dibiarkan menjual koran hingga tertidur di pinggir trotoar sekedar untuk bisa bertahan hidup maupun untuk bayar uang sekolah. Mungkin mereka sedang bermimpi sambil bertanya pada Tuhan mengapa Soemanto mendapatkan pengikutnya, dan mengapa terang tak mampu mengurai kegelapan batin. Atau, mereka tak sempat bermimpi usai menjalani hari dan damai di Bumi tak lebih dari jeda menutup mata saat tubuh terbenam penat.

*Anggota Forum Academia NTT


Leave a comment

Klientelisme dan Kosongnya ‘Rule of Law’


 Oleh: Dominggus Elcid Li

 

Apa yang terjadi dengan pentas pemilihan walikota seharga 23 miliar di Kota Kupang? Pertanyaan ini dengan sendirinya muncul usai warga kota menyaksikan dua kali debat terbuka kedua pasangan calon, maupun jika kita menimbang besarnya biaya Pilkada di NTT dan kaitannya dengan kemiskinan yang ditulis oleh penulis Lay Djarandjoera (Pos Kupang, 6/2/2017).

Terkait debat pertama, dua surat kabar lokal di Provinsi NTT menulis dua hal yang hampir mirip sehari setelah debat pertama. Harian Victory News menulis ‘Debat Kandidat Mengecewakan’ pada sub headline-nya, sedangkan Pos Kupang memuat kedua pasang calon ‘bertengkar’ sebagai headline-nya. Para awak media yang sempat berharap bahwa dalam debat kedua akan akan ada perubahan, tapi itu pun tidak muncul. Kedua suratkabar kembali menulis bahwa kedua pasangan calon tampil di bawah harapan.

Setelah debat pertama, KPU sebagai produser tayangan berinsiatif untuk mengganti moderator, dan memindahkan lokasi shooting (pengambilan gambar) dan berharap kedua faktor ini dapat menaikan kualitas debat. Ternyata strategi ini pun tidak berhasil, meskipun para moderator telah mengingatkan agar kedua pasangan calon fokus untuk berbicara soal visi dan program, dan tidak bertengkar urusan personal.

 

Conditional cash transfer (CCT) dan ‘Clientelism’

Tema utama pertengkaran tak lepas dari ‘pola politik klientelisme’ yakni terkait ‘penyaluran anggaran pendidikan’ dan ‘dinasti keluarga’ dalam birokrasi maupun proyek pemerintah kota. Klientelisme (Clientelism) menurut Zucco (2011, hal.5) adalah ‘the provision of particularist benefits (goods or services) by politicians to voters in exchange for political support’ (penyediaan barang atau jasa yang diberikan oleh politikus kepada pemilih dengan imbal balik dukungan politik). Ia menulis bahwa pemberian CCT meningkatkan kemungkinan orang untuk memilih sebesar 35% (2011, hal.23). Zuco (2011) dan Hidalgo & Nichte (2015) menyatakan strategi klientalis dengan memanfaatkan CCT umumnya dipakai oleh incumbent. Meskipun dalam prakteknya di Indonesia, tafsir incumbent perlu dibuka di level pusat-provinsi-daerah, dan eksekutif-legislatif.

Studi tentang dampak CCT terhadap perilaku Pemilu dilakukan oleh beberapa peneliti (Hidalgo & Nichte 2015, Aytac 2013, Labone 2013, Zucco 2011).  Aytac yang melakukan riset di Turki menuliskan bahwa dana CCT dipakai untuk menaklukan komunitas pendukung lawan, dengan cara proporsi bantuan ‘secara berlebihan’ diarahkan ke sana. Zucco mengkaji tentang keterkaitan CCT dan perilaku pemilih, khususnya tentang bagaimana keterkaitan CCT dan klientelisme.

Sedangkan untuk hal yang lebih khusus John Siddel (2005) menyebut tiga kata kunci tentang praktek politik ‘Bossisme’ di Indonesia:  ‘Mafia Lokal, Jaringan, dan Klan’. Mafia amat terkait dengan fenomena ‘deep state’ terkait dengan fenomena gerak memusat partai-partai politik.

Keberadaan ‘deep state’ atau dalam Bahasa Turki disebut derin devlet secara paling jelas terbaca dari kosongnya otonomi penyelenggara dan pengawas pemilu. Idiom ‘deep state’ ini dipakai di Turki sejak 1996 untuk membahas tentang aktor-aktor yang tidak muncul dalam liputan media massa, namun memegang peranan penting di balik layar. Mulai dari aparat keamanan, hingga tukang pukul (hit man).

Sedangkan jaringan dan klan kita bisa tandai dari ekspresi dukungan yang muncul dan dimuat di media mulai dari institusi keagamaan, dan paguyuban etnis. Jika tiga kata kunci terkait bossisme ala Siddel ingin ditulis dari kota seperti Kupang, maka setidaknya ada tiga hal yang muncul di tahun 2017: CCT (Conditional Cash Transfer), Politik Birokrasi, dan ‘Deep State’.

 

Politik Patron dan Dukungan Politik

Satu ciri khas menyolok yang tampak dalam politik patron adalah posisi patron sebagai pelindung kelompok pendukungnya. Contoh aksi patron dalam birokrat, terlihat dari bagaimana kritik Jefri terhadap Jonas terkait perampingan para pegawai honor untuk mengurangi biaya belanja untuk pegawai, ditanggapi Jonas dengan jawaban ‘kasihan, mereka mau kerja dimana nanti’. Sebaliknya hal yang sama terkait dengan penundaan penyaluran dana PIP dijawab Jefri dengan ‘penyaluran bantuan itu merupakan hak, dan jangan dihalangi’. Modus ‘melindungi kawanan’ sebagai imbalan terhadap dukungan politik merupakan gambaran umum praktek politik patron-klien di Kota Kupang.

Dalam skema Pilkada Kota Kupang Tim Jefri kembali menggunakan taktik lama dalam bertanding. Skema pemberian dana pendidikan ini ia pakai juga dalam pemilihan DPR pusat dan ranting-rantingnya. Modusnya sama, para pemberi beasiswa didata dan dikelola. Artinya ‘anak-anak miskin’ didata, dan secara rutin Tim Jefri mengirimkan SMS kepada Ibu/Bapak mereka bahwa ‘beasiswa sudah ada’. SMS semacam ini kita temui di lapangan, dan cukup efektif karena mampu membuat orang berujar ‘Pak Jefri sudah duluan ke sini, ini masih ada sms dari tim!’

Pemberian anggaran PIP tidak hanya menyasar keluarga miskin, sekolah swasta yang tergolong elit dan siswanya berasal dari kalangan menengah ke atas di Kota Kupang juga diberikan beasiswa. Di titik ini penggunaaan taktik memanfaatkan CCT (Conditional Cash Transfer) atau pemberian uang tunai yang dilengkapi dengan SMS rutin, menyerang basis potensial membuat keberadaan CCT menjadi instrumen agresif.

Sedangkan strategi anggaran yang dilakukan oleh Tim Jonas dan cenderung tidak dikritisi oleh Tim Jefri bisa dilihat melalui penaikan gaji RT sekota Kupang, hingga bantuan tunai yang diberikan ke berbagai kelompok masyarakat berbasis anggaran Kota Kupang. Kelemahan RT yang diberi gaji adalah mereka dianggap sebagai ‘pegawai’, padahal kekuatan utama organisasi komunitas setingkat RT seharusnya adalah kolektivitas dan kebersamaan. Bukan uang. Sebab kuncinya ada pada kekuatan modal sosial. Namun, mungkin karena polanya cenderung sama makanya tidak ada bunyi kritik dari Tim Jefri terhadap Tim Jonas, dan yang dikritik hanya lah soal mutasi dan dinasti.

Dalam pandangan penulis, dalam periode ‘injury time’ upaya mengangkat persoalan-persoalan ini tidak lah perlu, karena ini bukan ‘faktor pembeda’ yang layak disorot. Sebab kedua tim melakukan kontrol atas transfer uang tunai dalam beragam program. Sehingga jika salah satu ingin menang perlu ada ‘pembeda yang lain’. Saat ini keduanya masih dalam posisi sama ‘orang baik, tukang bagi-bagi doi’. Para kandidat dan tim perlu membuktikan bahwa keduanya memiliki kualitas memimpin kota yang tergambar dari visi dan program, bukan hanya ‘mampu membeli pintu’.

Tanpa adanya ‘titik pembeda’, warga Kota Kupang kesulitan memilih atau tidak merasa perlu datang ke bilik suara. Tanda ketiadaan titik pembeda yang muncul dalam dialog publik membuat pembeda ditarik ke kasta yang tidak butuh kemampuan kognitif memadai, yakni dibawah ke persoalan primordial (baca: etnis) atau pun identitas lain (baca: afiliasi keagamaan).

 

Politik Orang Kuat di Kota

Fenomena patron-klien Kota Kupang cenderung akan bertahan dalam waktu yang lama jika skema ‘deep state’ tidak dikaji dan dicarikan jalan keluarnya. Fenomena orang-orang kuat yang berkuasa dibalik layar membuat proses demokratisasi semakin sulit dilakukan.

Contoh aktivitas deep state terdapat dalam kegiatan masing-masing pasangan calon. Contohnya atas dukungan ‘sebagian’ komisioner KPU, yang diberi stempel oleh Bawaslu Provinsi NTT, ‘atas petunjuk’ Bawaslu Pusat, Tim Jonas kembali dihidupkan dan keputusan Panwaslu Kota dianulir, dan Panwalsu Kota Kupang dibekukan. Baru-baru ini DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilihan Umum) menolak seluruh keputusan Bawaslu NTT ‘yang mendapatkan petunjuk’ dari Bawaslu Pusat. Meskipun tidak ada implikasi hukum untuk proses pencalonan ini Tim Jonas tetap maju bertanding, dan Bawaslu Provinsi NTT dinyatakan keliru. Pertanyaannya ‘intervensi orang kuat macam apa’ dibalik intervensi Bawaslu Pusat yang mampu membuat Bawaslu NTT menempatkan diri bukan sebagai badan otonom, tetapi badan yang ‘tidak memiliki sikap dan pemikiran otonom’? Otonomi pemikiran merupakan hal yang kosong dalam Pilkada Kota Kupang kali ini, baik di KPU Kota Kupang, Bawaslu Provinsi NTT, hingga Bawaslu Pusat.

Hal yang sama bisa juga ditanyakan, mengapa praktek politisasi dana PIP seolah dibiarkan begitu saja oleh Bawaslu Provinsi NTT tanpa komentar? Padahal,seperti yang diungkapkan dalam berbagai riset terkait CCT, biasanya instrumen ini hanya dipakai oleh calon incumbent. Namun mengapa Tim Jefri punya kuasa? Besarnya akses Tim Jefri terhadap data, dan implementasi PIP tidak bisa lepas dari posisi kuncinya sebagai bekas anggota DPR dari Partai Demokrat yang merupakan partai penguasa pemerintahan lalu. Rumor yang berkembang di Jakarta adalah posisi birokasi di eselon satu dan dua  di berbagai departemen masih diisi oleh orang-orang yang mendapatkan dukungan dari partai  pemerintahan sebelumnya.

Kondisi ‘politisasi birokrasi’ di pusat, tak begitu berbeda dengan di daerah. Sebab jika diteropong lebih jauh maka bisa dilihat dampak politik patron-klien terhadap polarisasi dalam birokrasi Kota Kupang. Kedua tim memiliki loyalis masing-masing dalam birokrasi. Menjelang hari pemilihan, titik ketegangan tidak begitu terasa di kalangan warga, tetapi amat berbeda dengan ‘tim sukses’ yang berasal dari jalur birokrat.

Politik praktis yang sedang dilakukan tidak mengenal pembedaan ruang. Seluruh arena menjadi arena adu kuasa. Kosongnya rule of law tercermin dari diamnya penyelenggara dan pengawas pemilihan umum terhadap persoalan-persoalan substantif, sebaliknya menjadi ‘dinamis’ jika bersinggungan dengan kepentingan masing-masing patron. Ketika penyelenggara, dan pengawas menjadi partisan posisi benar atau salah menjadi kosong.

Jika segala ruang dipakai untuk berpolitik maka tidak ada yang menjadi wasit. Semua menjadi pemain. Namun permainan yang hanya mampu dimainkan oleh ‘orang kuat’ atau patron bukan merupakan cita-cita reformasi. Singkatnya, untuk bertengkar, kita tidak perlu habiskan 23 miliar.

*Anggota Forum Academia NTT, Peneliti IRGSC


Leave a comment

Metamorfosis Perbudakan (2)


Oleh: Dominggus Elcid Li

Satu abad lebih proses modernisasi yang ditandai dengan pasifikasi Belanda dibawah Gubernur Jendral Van Heutz terjadi berbagai wilayah yang dulu digolongkan sebagai Wilayah Karesidenan Timor. Berbagai institusi moderen didirikan. Selain gereja, sekolah juga dibangun. Birokrasi kolonial sudah digantikan oleh birokrasi republiken. Namun proses kekalahan, yang ditandai dengan tercerabutnya warga dari tempatnya tinggal, dan berubah menjadi komoditas belum menjadi fokus persoalan. Padahal ‘perdagangan orang’ merupakan simbol kekalahan penduduk di NTT dalam gambaran yang paling brutal.

Apakah kemiskinan merupakan faktor pendorong (push factor) bagi orang untuk melakukan migrasi? Pertanyaan ini merupakan bahan perdebatan, karena tidak semua orang yang dikategorikan miskin memilih untuk melakukan migrasi, namun atas nama ‘ingin keluar dari lingkaran kemiskinan’ orang juga melakukan migrasi. Pertanyaan selanjutnya ‘apakah orang masih punya kapasitas dan kapabilitas untuk tinggal’ dengan sekian perangkat modernitas yang diperkenalkan secara marak sejak awal tahun 1900-an?

 

Pendidikan, Migrasi dan Pekerja Anak

Tujuan penyelenggaran pendidikan di sekolah atau institusi pendidikan dalam pandangan Dewey adalah agar semakin terdidik warga negara dan memungkinkan terjadinya mobilitas sosial secara demokratis. Namun harapan ini adalah harapan palsu untuk kebanyakan anak-anak di NTT. Di tengah retorika  pembangunan khususnya terkait pendidikan yang disebutkan para pejabat. Berdasarkan data yang dikumpulkan BPS Rata-rata anak di NTT hanya bersekolah hingga SMP kelas satu. Angka putus sekolah tertinggi berdasarkan jenjang institusi pendidikan yang ditempuh ada di Kabupaten Sumba Tengah, yang lamanya anak bersekolah hanya sampai Kelas 5 SD. Sedangkan di Timor Barat berada di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang rata-rata anak hanya bersekolah hingga SMP Kelas satu. Di Kota Kupang rata-rata anak mencapai jenjang pendidikan bangku SMA Kelas Tiga. Kesenjangan antara kota dan desa amat terasa.

Dengan kondisi semacam ini, anak-anak NTT amat rentan terhadap penipuan yang berujung pada perdagangan orang dan tingginya angka pekerja anak. Rendahnya pendidikan, dan tingginya angka low skilled labor tidak bisa dilepaskan dari trend menurunnya kualitas pendidikan di NTT.  Faktor lain yang berkontribusi terhadap semakin menurunnya kualitas pendidikan di NTT adalah kualitas guru, keberadaan guru, dan ketersediaan bahan ajar. Contohnya, di salah satu kabupaten yang disurvei, kebanyakan guru SD di Sumba Barat berpendidikan SMA, dan kebanyakan tidak pernah dilatih tehnik pedagogis yang memadai. Tentu kita tidak bisa berharap mendapatkan kualitas pendidikan berkualitas jika kapasitas guru pun terbatas. Cerita tentang guru yang mudah melakukan hukuman fisik karena stres honor tak kunjung tiba juga ditemukan di lapangan.

Paradoks dari dunia yang saling berkaitan adalah seluruh wilayah NTT menjadi jajahan Telkomsel (dengan tarif yang menindas, karena provider lain jaringannya tidak berkembang di NTT), yang membuat warga terhubung melalui paket data dan media sosial. Entah di Sabu, di Moropokot (Nagekeo), atau di Besikama (Malaka) orang semakin terhubung,namun anehnya kesenjangan semakin menganga. Konektivitas memang membuat orang memiliki akses informasi yang sejajar, tetapi konektivitas tidak membuat orang lebih berdaya atau berdaulat atas tubuhnya sendiri. Di titik ini informasi sekedar menjadi fantasi, bahkan elemen awal untuk melakukan eksploitasi.

Selain infrastruktur IT yang semakin berkembang, Indonesia dalam pemerintah Jokowi menekankan konektivitas yang ditandai dengan fokus penguatan infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia. Tol laut menjadi cita-cita. Pembangunan infrastruktur jalan menjadi prioritas. Namun pendidikan yang menjadi inti utama agar ‘kesenjangan’ tidak menganga kurang menjadi perhatian.  Satu hal konkrit yang luput dari tim perencana pemerintah saat ini adalah ketimpangan pembangunan, antar pulau dan antar kawasan tidak menjadi bahan pertimbangan. Konektivitas tak hanya menghadirkan ketersambungan, tetapi juga membawa kesenjangan, karena selalu ada pihak yang kalah dalam konteks uneven development.

 

Kolonialisme Internal

Apakah pemerintah memiliki fungsi melindungi populasi yang ada, ataukah pemerintah hanya berganti kulit dan menjalankan peran kolonialisme internal? Hadirnya birokrasi moderen yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda jelas membutuhkan tenaga rendahan untuk dijadikan pegawai, terutama sebagai juru tulis. Untuk itu lulusan sekolah-sekolah awal Belanda menjadi para ambtenaar pertama. Hingga hari ini mind set sekolah untuk menjadi pegawai negeri belum bergeser. Menjadi pegawai adalah cita-cita kaum yang bisa baca tulis.

Mimpi menjadi pegawai juga menjadi mimpi anak-anak petani maupun para petani di pedalaman. Dalam salah satu survei yang dilakukan oleh IRGSC yang didukung oleh Save the Children di Kabupaten Sumba Barat (2015), sebanyak 60% anak (n=112) ingin menjadi pegawai negeri, dan hanya 3% yang ingin menjadi petani, meskipun 60% dari mereka berasal dari keluarga petani. Ironisnya, tak lama setelah duduk di bangku kelas satu SMP rata-rata dari mereka pun pupus, dan mereka pun drop out dari sekolah.

Tak semua orang miskin pergi bermigrasi mencari kerja. Dengan pendidikan yang pas-pasan mereka direkrut menjadi ‘pembantu rumah tangga (PRT)’ di untuk keluarga di negeri jiran, atau kota-kota besar di Indonesia (seperti Medan, Jakarta, Batam, Surabaya, dan Denpasar).   ‘PRT asal NTT’ memiliki logo tersendiri. Murah, dan taat.  Tanpa sadar ini lah hasil pendidikan yang kita pasarkan dari NTT. Timor dan Sumba masih melanjutkan posisi sebagai lokasi terbanyak ‘korban perdagangan orang’. Kedua pulau ini dikenal sebagai ‘reservoir’ budak abad 17.

Dalam catatan Ormeling (1956), geografer Belanda terakhir di Timor, ia mencatat bahwa pada tahun 1792 Huyser menuliskan bahwa ‘daerah (kepulauan) Timor menyediakan budak-budak yang baik untuk pembantu rumah tangga’. Di area Hindia Belanda budak dikirim ke Batavia, Palembang, dan juga ke Banda untuk memetik pala. Dalam atlas perbudakan (Walvin 2006), budak yang dikirim dari Hindia Belanda juga menjangkau Cape Colony atau Tanjung Harapan di Afrika Selatan.

Dalam dunia fantasi media, para budak kini tidak lagi dirantai dengan bola besi, melainkan mereka dirantai dengan sekian trik manipulasi. Mereka ditipu, dan dibodohi. Susahnya para pejabat malah terperangkap untuk melindungi korporasi pelaku perdagangan orang, dengan cara tidak mau belajar tentang indikator perdagangan orang, dan hanya terpaku pada berkas.

Jika para golongan ‘samurai atau mandarin’ dari tanah setempat menolak untuk bertanggungjawab atas warganya, maka eksploitasi merupakan gambaran nyata. Golongan kuat menjual yang lemah. Dalam kemiskinan yang dalam, watak predator manusia kian menguat. Kesadaran etis untuk melindungi yang lemah tidak muncul dari kaum literer.

Sebaliknya liberalisasi tenaga kerja, amat terlihat dari miskinnya hukuman untuk korporasi pelaku perdagangan orang. Mazhab ekonomi laizzes-faire merupakan mazhab dominan.  Liberalisasi pasar tenaga kerja ditandai dengan eksploitasi terhadap manusia,  dan pemerintah menolak untuk melakukan intervensi. Korporasi dibiarkan sebebas-bebasnya melakukan eksploitasi, dan dilindungi dengan regulasi.

Kemiskinan yang panjang dan mematikan membuat orang permisif terhadap kemiskinan, maupun risiko yang harus diterima ketika bermigrasi. Kondisi ini cukup ironis, karena sebagian orang mampu berpesta membakar kembang api, dan sebagian orang untuk makan pun harus mengais di tempat sampah. Dan kita masih batolak-bahela, “Apakah kita miskin?”

Pendidikan moderen yang dikelola ala kadarnya telah membuat Provinsi NTT sebagai penyumbang tenaga kerja minim ketrampilan secara nasional maupun regional.  Secara konkrit pemerintah di daerah Provinsi NTT (kabupaten dan provinsi) perlu melakukan evaluasi menyeluruh dan memberikan jawaban ‘mengapa angka putus sekolah begitu tinggi di NTT’, dan temukan jawaban bagaimana strategi kita untuk bersaing dan terutama untuk keluar dari perbudakan.

Reproduksi kelas terjadi melalui institusi pendidikan. Pertanyaan gurauan yang kerap kita temui ‘gubernur sudah ada, bupati sudah ada, walikota sudah ada, untuk apa kita sekolah’. Secara implisit mereka menyiratkan kritik terhadap kelas elit bahwa mobilitas  sosial tidak terjadi. Singkatnya, dalam masyarakat tergambar rasa pesimis bahwa institusi pendidikan merupakan instrumen yang mungkin memfasilitasi mereka untuk melakukan mobilitas sosial.

Dengan kualitas institusi pendidikan ala kadarnya, mungkin sejak dini anak-anak pun sudah melihat institusi pendidikan bukan lah jalan keluar bagi mereka. Akibatnya anak-anak turun ke dunia kerja sejak dini, sebab bagi mereka ruang kelas bukan lah jawaban. Pesimisme yang melingkupi imajinasi anak-anak NTT harus lah diangkat. Tugas ini harus dikerjakan paralel: pusat-provinsi-kabupaten, dan dengan tidak membedakan antara swasta dan negeri. Tugas ini adalah tugas peradaban, sebab perbudakan satuannya adalah abad.

Pendidikan juga gagal menjadi alat emansipatoris, ketika institusi-institusi pendidikan gagal menghasilkan para elit pemimpin yang peduli pada mereka yang paling lemah. Saat ini korban perdagangan orang adalah bagian dari kelompok yang paling rentan dieksploitasi. Membaca mereka sekedar satu kasus merupakan sebuah kekeliruan dan tindakan amnesia. Sebab akar perbudakan yang terjadi berabad-abad seolah dilupakan begitu saja, dan konstitusi Republik Indonesia secara jelas menolak tegas perbudakan.

Di era kolonialisme Eropa perbudakan dahulu seluruhnya ditandai dengan paksaan dan kekerasan fisik. Sedangkan perbudakan yang tergambar dalam model kolonialisme internal tak mesti ditandai dengan kekerasan fisik saat rekrutmen,  namun sangat mungkin dilakukan secara legal dan diproteksi oleh aparat pemerintah dengan manipulasi kolektif. Klaim yang dibangun, seluruhnya bersandar pada keuntungan ekonomis dengan klaim ‘zero risk’ (nol risiko). Para pembuat kebijakan hanya mungkin melihat praktek perdagangan orang jika mau membaca detil dinamika eksploitasi dalam setiap rantai nilai (value chain), dan tidak hanya membaca berkas. Persoalannya nalar ekonomi dengan mudah menggantikan proses manipulasi.

Salah satu tehnik manipulasi dalam tata pengetahuan terkini adalah dengan menempatkan jarak obyektif antara pembuat kebijakan dengan warga yang jadi sasaran perdagangan orang. Remmitance menjadi alibi terkuat, sementara secara hukum para pelaku cenderung untouchable. Salah satu cara untuk mengukur jarak modernitas, dan jarak ‘kolonialisme internal’ adalah dengan mengukur sejauh mana perbedaan antara watak ‘para penjajah Belanda’ dan kaum mardijkers kontemporer yang menjadi elit baru dalam skema kolonialisme internal.

Dalam kajian tata pengetahuan kita juga melihat bagaimana perbudakan mendapatkan celahnya untuk kembali beroperasi kembali, dengan meletakan nalar korporasi sebagai ‘kebenaran dominan’ dengan dijadikan regulasi oleh legislatif/pemerintah pusat maupun legislatif/pemerintah daerah.  Selama aksi perdagangan orang tidak dikenal, dan aksi pelanggaran oleh korporasi dibiarkan dan dibaca sebagai bentuk insentif terhadap korporasi maka sesungguhnya kita tidak bergerak dari posisi kolonialisme abad ke 15.

Neo kolonialisme yang disebutkan oleh Soekarno sedang terjadi. Atau mungkin dalam konteks NTT perbudakan tidak perlu ditulis dengan tambahan ‘neo’, sebab perbudakan bagian dari kultur feodal, dan menyatu dalam tatanan sistem sosial.  Perbudakan tidak hilang, hanya berganti baju, atau bahkan dilaksanakan dengan diam-diam sebagai bentuk praktek budaya lokal. Perbudakan (slavery) hanya lah terjemahan etis orang Eropa, sedangkan bagi warga di NTT maupun di Indonesia secara umum pembedaan ini tidak dilakukan karena telah dianggap bagian dari ‘hukum alam’, atau terjemahan lurus dari Darwinisme sosial. Globalisasi hanya mempercepat proses eksploitasi yang memang sudah terjadi dalam skala geografis yang makin luas, dan para pejabat tak lebih dari indirect ruler.

Kehadiran nation-state, sebagai sebuah institusi moderen diharapkan dapat mengatur populasi di wilayah tertentu yang bersepakat untuk menjadi entitas politik. Persoalannya krisis ‘negara-bangsa’ yang terjadi tidak hanya terkait formasi political islam global dan terkait dengan kontestasi rakyat (the people) dan ummat, tetapi ini terkait dengan ‘hukum ekonomi’ yang menjadi panglima atau kebenaran teratas yang diadopsi oleh state apparatus.  Membaca ulang UU Ketenagakerjaan dan UU TPPO secara bersama-sama mungkin akan membantu. Entah apa yang akan ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer andaikan ia masih hidup–dan andaikan ia adalah orang NTT.

*Penulis anggota FAN (Forum Academia NTT), Peneliti IRGSC dengan minat sosiologi sejarah.

 


Leave a comment

Metamorfosis Perbudakan (1)


Oleh: Dominggus Elcid Li

Perbudakan bukan merupakan fenomena baru di wilayah NTT. Duarte Barbosa, geografer Portugis,  pada tahun 1518 mencatat budak sebagai salah satu komoditas perdagangan, dan institusionalisasi perbudakan diperkenalkan lewat hadirnya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), perusahaan dagang Belanda  (Hagerdal 2010). Dalam catatan Salomon Muller pada tahun 1829 di Kota Kupang terdapat 1200 orang budak, dan pasar budak masih ditemukan di Maunura (Ende) hingga tahun 1878, meskipun perbudakan sudah dilarang sejak tahun 1860 (Ormeling 1956). Dalam sejarahnya para pedagang yang datang ke wilayah NTT membeli tiga komoditas utama: cendana, madu dan budak (Hagerdal 2010; Parimarta 2002; Ormeling 1956). Perbudakan secara resmi Kini cendana nyaris punah; madu laris manis; budak adalah realitas.

Tahun 2016, sekitar 50-an jenasah TKI diterima di terminal cargo El Tari, Kupang. Sebagian peti jenasah pulang dengan alamat palsu, dengan alamat pasti hanya terminal cargo. Di tahun 2014 dari  1021 orang yang ditangani pihak berwajib, sebanyak 605 diduga merupakan korban perdagangan orang. Di tahun 2015 sebanyak 1004 orang yang ditangani, sebanyak 468 orang terindikasi indikasi korban perdagangan orang. Berdasarkan data yang dikumpulkan IRGSC, pelaku perdagangan orang terbesar dilakukan oleh PPTKIS (Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia Swasta) sebanyak  61 % di tahun 2014, dan 45% di tahun 2015.  Sedangkan jumlah pelaku yang tidak diidentifikasi sebanyak 17 % (2014), dan 32% (2015).

Pertanyaan-pertanyan yang kemudian berkembang adalah bagaimana mungkin perbudakan yang terjadi dalam rentang waktu lima abad terakhir, tetap dapat bertahan dan menjadi hal yang biasa. Bukankah tata sistem politik berubah, dan VOC sebagai korporasi dagang sudah hilang? Bahkan perdagangan budak di wilayah ini sudah dihentikan oleh Belanda di awal tahun 1900-an, seiring proses pasifikasi. Bukankah kini para elit pribumi lah yang berkuasa? Mengapa dalam putaran waktu lima ratus tahun kita kembali ke titik semula, ketika globalisasi bukan lagi gerak satu arah dari Eropa ke Timur? Mengapa korporasi kembali sebagai pelaku perbudakan?

Apakah perbudakan merupakan hal yang biasa? Jawaban etisnya ‘tentu tidak’. Bagaimana mungkin perbudakan tetap eksis dalam waktu yang berbeda, dan dalam ruang yang sama? Dan manusia yang berbeda yang mewarisi DNA para leluhurnya tidak mampu membedakan antara ‘tenaga kerja’ dan ‘perdagangan orang’ (human trafficking). Padahal, perdagangan orang ini lah yang biasa disebut sebagai perbudakan moderen (modern slavery). Dalam kajian sosiologi, orang menyebut perbedaan perspektif ini menjelaskan kontradiksi kelas tergambar yang tampak lewat perspektif yang dipakai.

Arus migrasi berisiko dari NTT cenderung tidak terbendung. Beberapa faktor pendorong (push factors) terjadinya perdagangan orang antara lain kemiskinan,  tekanan perubahan iklim, korupsi aparat negara, kekeringan. Sedangkan faktor-faktor penarik (pull factors) yang diandaikan berasal dari kondisi eksternal antara lain: terlalu longgarnya PPTKIS terkait liberalisasi undang-undang ketenagakerjaan, kebijakan pemerintah lebih menekankan pada hak bermigrasi dan kurang menekankan pada hak bermigrasi dengan selamat, kebutuhan tenaga low skilled labor yang tinggi dari negara maupun provinsi tetangga yang beralih ke sektor industri dan jasa.

Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang merupakan turunan dari Protokol Palermo, hingga kini belum fasih digunakan oleh para aparat dalam sistem peradilan di NTT. Solusinya, selain menambah biaya untuk penanganan kasus perdagangan orang, pemahaman detil teknis tindak pidana perdagangan orang perlu dipahami oleh polisi, jaksa dan hakim. Tanpa pemahaman atas detil indikator perdagangan orang, kasus yang diproses juga sangat minim. Tahun 2016, kasus yang ditangani Polda NTT sekitar 60-an kasus atau hanya sekitar 6,7% dari jumlah kasus yang ditangani polisi. Sedangkan kasus yang diproses kejaksaan jelas lebih kecil atau kurang dari 1% yang dari yang tercatat di suratkabar.  Tentu yang  mendapatkan sanksi menggunakan UU TPPO juga semakin kecil lagi.

Gagapnya sistem peradilan menanggapi aksi perdagangan orang terlihat dari dominannya dua hal yang diangkat dan diproses dalam sistem peradilan: (1) pemalsuan identitas, dan (2) korban adalah anak. Selain dua hal ini polisi dan jaksa seolah sedang menangkap angin. Sayangnya, ketidakmampuan sistem peradilan untuk bereaksi terhadap kejahatan serius dengan menggunakan UU TPPO, tidak dikritisi malah ‘diaminkan’ oleh DPRD Provinsi.   Perbedaan perspektif adalah hal biasa, namun pengabaian  merupakan tindak kriminal.

Ketika dijadikan Perda, substansi undang-undang tindak perdagangan orang pun luput menjadi pembahasan, sebab fokus utama hanya pemalsuan dokumen dan diksi dominan yang dipakai berasal dari Undang-Undang Ketenagakerjaan. Rekomendasi baru tiba di level pemalsuan administrasi yang merupakan salah satu elemen dalam perdagangan orang. Hal ini sangat mungkin dilakukan jika prinsip partisipatoris multi pihak dilaksanakan dalam pembuatan Perda, dan tak hanya mendengarkan suara dominan PPTKIS.

Secara berurutan eksploitasi berlangsung mulai dari proses rekrutmen, penampungan, pengurusan adminstrasi, penempatan, skema penggajian, dan pemulangan/perpanjangan kontrak. Seharusnya DPRD Provinsi NTT mampu bekerja lebih baik, dan tidak hanya fokus pada persoalan administrasi.

Seharusnya pihak kepolisian dan kejaksaan bisa bekerja di bagian hulu atau dalam proses rekrutmen dengan peka terhadap praktek ‘perdagangan orang’. Di Belanda yang menjadi ‘nenek moyang’ hukum di Indonesia, polisi dan jaksa bekerjasama dalam pengumpulan bukti terkait perdagangan orang. Di Indonesia polisi dan jaksa bekerja terpisah.

Indikator perdagangan orang terkait ‘penipuan pada saat rekrutmen’ terlihat dari: (1) penipuan terkait lokasi kerja/majikan, kondisi pekerjaan; (2) upah yang ditahan dan jumlah gaji yang tidak transparan, (3) dokumen kependudukan yang ditahan majikan. Indikator ‘rekrutmen yang disertai dengan kekerasan’ ditandai dengan kekerasan pada korban, calon pekerja di-isolasi total, ancaman terhadap keluarga terutama ketika keluarga telah menerima ‘uang muka’ (debt bondage). Indikator kontrol terhadap korban yang rentan dan mudah dimanipulasi antara lain: pembodohan, korban tak mampu membaca dokumen karena minim kemampuan berbahasa (Indonesia).  Indikator lengkap terkait perdagangan orang dapat dibaca dalam pamflet yang disebarkan ILO (International Labor Organization)_ (2009).

Secara substantif, seorang tenaga kerja hanya menjual jasa tenaganya. Sedangkan perdagangan orang korban biasanya tidak memiliki pilihan dan berkuasa atas tubuhnya. Dalam titik tertentu PPTKIS  bisa disamakan dengan agen perbudakan, ketika PPTKIS berkuasa atas manusia yang dikirimnya. Khususnya ketika mereka hanya dianggap sebagai komoditas. Bukankah PPTKIS yang hanya mengejar laba dan tidak mau memastikan kondisi kerja di lokasi majikan serupa dengan tindakan para tuan yang menjual budak di masa lampau? Ucapan permisif yang biasa keluar dari pengurus PPTKIS, “Orang mati bisa dimana saja.” Pertanyaannya, “Apakah anda bersedia jika ditempatkan dalam posisi gelap gulita ketika dikirim bekerja?”

Hans Hagerdal (2010) yang menulis tentang ‘The Slaves of Timor’ mencatat bahwa jumlah budak yang dikirim keluar dari Timor tinggi pada saat perang. Budak adalah orang-orang kalah yang dalam peperangan. Sebaliknya, saat damai jumlah budak menurun drastis. Perang kini tidak harus dalam perang konvensional, namun perang berubah menjadi perang dagang. Nalar untuk memahami ‘perang dagang’ perlu dipelajari, sebab meskipun tampak damai, peti-peti jenasah para korban mengalir.

Satu abad lebih proses modernisasi yang ditandai dengan pasifikasi Belanda dibawah Gubernur Jendral Van Heutz terjadi berbagai wilayah yang dulu digolongkan sebagai Wilayah Karesidenan Timor. Berbagai institusi moderen didirikan. Selain gereja, sekolah juga dibangun. Birokrasi kolonial sudah digantikan oleh birokrasi republiken. Namun proses kekalahan, yang ditandai dengan tercerabutnya warga dari tempatnya tinggal, dan berubah menjadi komoditas belum menjadi fokus persoalan. Padahal ‘perdagangan orang’ merupakan simbol kekalahan penduduk di NTT dalam gambaran yang paling brutal.

Apakah kemiskinan merupakan faktor pendorong (push factor) bagi orang untuk melakukan migrasi? Pertanyaan ini merupakan bahan perdebatan, karena tidak semua orang yang dikategorikan miskin memilih untuk melakukan migrasi, namun atas nama ‘ingin keluar dari lingkaran kemiskinan’ orang juga melakukan migrasi. Pertanyaan selanjutnya ‘apakah orang masih punya kapasitas dan kapabilitas untuk tinggal’ dengan sekian perangkat modernitas yang diperkenalkan secara marak sejak awal tahun 1900-an?

 

Pendidikan, Migrasi dan Pekerja Anak

Tujuan penyelenggaran pendidikan di sekolah atau institusi pendidikan dalam pandangan Dewey adalah agar semakin terdidik warga negara dan memungkinkan terjadinya mobilitas sosial secara demokratis. Namun harapan ini adalah harapan palsu untuk kebanyakan anak-anak di NTT. Di tengah retorika  pembangunan khususnya terkait pendidikan yang disebutkan para pejabat. Berdasarkan data yang dikumpulkan BPS Rata-rata anak di NTT hanya bersekolah hingga SMP kelas satu. Angka putus sekolah tertinggi berdasarkan jenjang institusi pendidikan yang ditempuh ada di Kabupaten Sumba Tengah, yang lamanya anak bersekolah hanya sampai Kelas 5 SD. Sedangkan di Timor Barat berada di Kabupaten Timor Tengah Selatan yang rata-rata anak hanya bersekolah hingga SMP Kelas satu. Di Kota Kupang rata-rata anak mencapai jenjang pendidikan bangku SMA Kelas Tiga. Kesenjangan antara kota dan desa amat terasa.

Dengan kondisi semacam ini, anak-anak NTT amat rentan terhadap penipuan yang berujung pada perdagangan orang dan tingginya angka pekerja anak. Rendahnya pendidikan, dan tingginya angka low skilled labor tidak bisa dilepaskan dari trend menurunnya kualitas pendidikan di NTT.  Faktor lain yang berkontribusi terhadap semakin menurunnya kualitas pendidikan di NTT adalah kualitas guru, keberadaan guru, dan ketersediaan bahan ajar. Contohnya, di salah satu kabupaten yang disurvei, kebanyakan guru SD di Sumba Barat berpendidikan SMA, dan kebanyakan tidak pernah dilatih tehnik pedagogis yang memadai. Tentu kita tidak bisa berharap mendapatkan kualitas pendidikan berkualitas jika kapasitas guru pun terbatas. Cerita tentang guru yang mudah melakukan hukuman fisik karena stres honor tak kunjung tiba juga ditemukan di lapangan.

Paradoks dari dunia yang saling berkaitan adalah seluruh wilayah NTT menjadi jajahan Telkomsel (dengan tarif yang menindas, karena provider lain jaringannya tidak berkembang di NTT), yang membuat warga terhubung melalui paket data dan media sosial. Entah di Sabu, di Moropokot (Nagekeo), atau di Besikama (Malaka) orang semakin terhubung,namun anehnya kesenjangan semakin menganga. Konektivitas memang membuat orang memiliki akses informasi yang sejajar, tetapi konektivitas tidak membuat orang lebih berdaya atau berdaulat atas tubuhnya sendiri. Di titik ini informasi sekedar menjadi fantasi, bahkan elemen awal untuk melakukan eksploitasi.

Selain infrastruktur IT yang semakin berkembang, Indonesia dalam pemerintah Jokowi menekankan konektivitas yang ditandai dengan fokus penguatan infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia. Tol laut menjadi cita-cita. Pembangunan infrastruktur jalan menjadi prioritas. Namun pendidikan yang menjadi inti utama agar ‘kesenjangan’ tidak menganga kurang menjadi perhatian.  Satu hal konkrit yang luput dari tim perencana pemerintah saat ini adalah ketimpangan pembangunan, antar pulau dan antar kawasan tidak menjadi bahan pertimbangan. Konektivitas tak hanya menghadirkan ketersambungan, tetapi juga membawa kesenjangan, karena selalu ada pihak yang kalah dalam konteks uneven development.

 

Kolonialisme Internal

Apakah pemerintah memiliki fungsi melindungi populasi yang ada, ataukah pemerintah hanya berganti kulit dan menjalankan peran kolonialisme internal? Hadirnya birokrasi moderen yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda jelas membutuhkan tenaga rendahan untuk dijadikan pegawai, terutama sebagai juru tulis. Untuk itu lulusan sekolah-sekolah awal Belanda menjadi para ambtenaar pertama. Hingga hari ini mind set sekolah untuk menjadi pegawai negeri belum bergeser. Menjadi pegawai adalah cita-cita kaum yang bisa baca tulis.

Mimpi menjadi pegawai juga menjadi mimpi anak-anak petani maupun para petani di pedalaman. Dalam salah satu survei yang dilakukan oleh IRGSC yang didukung oleh Save the Children di Kabupaten Sumba Barat (2015), sebanyak 60% anak (n=112) ingin menjadi pegawai negeri, dan hanya 3% yang ingin menjadi petani, meskipun 60% dari mereka berasal dari keluarga petani. Ironisnya, tak lama setelah duduk di bangku kelas satu SMP rata-rata dari mereka pun pupus, dan mereka pun drop out dari sekolah.

Tak semua orang miskin pergi bermigrasi mencari kerja. Dengan pendidikan yang pas-pasan mereka direkrut menjadi ‘pembantu rumah tangga (PRT)’ di untuk keluarga di negeri jiran, atau kota-kota besar di Indonesia (seperti Medan, Jakarta, Batam, Surabaya, dan Denpasar).   ‘PRT asal NTT’ memiliki logo tersendiri. Murah, dan taat.  Tanpa sadar ini lah hasil pendidikan yang kita pasarkan dari NTT. Timor dan Sumba masih melanjutkan posisi sebagai lokasi terbanyak ‘korban perdagangan orang’. Kedua pulau ini dikenal sebagai ‘reservoir’ budak abad 17.

Dalam catatan Ormeling (1956), geografer Belanda terakhir di Timor, ia mencatat bahwa pada tahun 1792 Huyser menuliskan bahwa ‘daerah (kepulauan) Timor menyediakan budak-budak yang baik untuk pembantu rumah tangga’. Di area Hindia Belanda budak dikirim ke Batavia, Palembang, dan juga ke Banda untuk memetik pala. Dalam atlas perbudakan (Walvin 2006), budak yang dikirim dari Hindia Belanda juga menjangkau Cape Colony atau Tanjung Harapan di Afrika Selatan.

Dalam dunia fantasi media, para budak kini tidak lagi dirantai dengan bola besi, melainkan mereka dirantai dengan sekian trik manipulasi. Mereka ditipu, dan dibodohi. Susahnya para pejabat malah terperangkap untuk melindungi korporasi pelaku perdagangan orang, dengan cara tidak mau belajar tentang indikator perdagangan orang, dan hanya terpaku pada berkas.

Jika para golongan ‘samurai atau mandarin’ dari tanah setempat menolak untuk bertanggungjawab atas warganya, maka eksploitasi merupakan gambaran nyata. Golongan kuat menjual yang lemah. Dalam kemiskinan yang dalam, watak predator manusia kian menguat. Kesadaran etis untuk melindungi yang lemah tidak muncul dari kaum literer.

Sebaliknya liberalisasi tenaga kerja, amat terlihat dari miskinnya hukuman untuk korporasi pelaku perdagangan orang. Mazhab ekonomi laizzes-faire merupakan mazhab dominan.  Liberalisasi pasar tenaga kerja ditandai dengan eksploitasi terhadap manusia,  dan pemerintah menolak untuk melakukan intervensi. Korporasi dibiarkan sebebas-bebasnya melakukan eksploitasi, dan dilindungi dengan regulasi.

Kemiskinan yang panjang dan mematikan membuat orang permisif terhadap kemiskinan, maupun risiko yang harus diterima ketika bermigrasi. Kondisi ini cukup ironis, karena sebagian orang mampu berpesta membakar kembang api, dan sebagian orang untuk makan pun harus mengais di tempat sampah. Dan kita masih batolak-bahela, “Apakah kita miskin?”

Pendidikan moderen yang dikelola ala kadarnya telah membuat Provinsi NTT sebagai penyumbang tenaga kerja minim ketrampilan secara nasional maupun regional.  Secara konkrit pemerintah di daerah Provinsi NTT (kabupaten dan provinsi) perlu melakukan evaluasi menyeluruh dan memberikan jawaban ‘mengapa angka putus sekolah begitu tinggi di NTT’, dan temukan jawaban bagaimana strategi kita untuk bersaing dan terutama untuk keluar dari perbudakan.

Reproduksi kelas terjadi melalui institusi pendidikan. Pertanyaan gurauan yang kerap kita temui ‘gubernur sudah ada, bupati sudah ada, walikota sudah ada, untuk apa kita sekolah’. Secara implisit mereka menyiratkan kritik terhadap kelas elit bahwa mobilitas  sosial tidak terjadi. Singkatnya, dalam masyarakat tergambar rasa pesimis bahwa institusi pendidikan merupakan instrumen yang mungkin memfasilitasi mereka untuk melakukan mobilitas sosial.

Dengan kualitas institusi pendidikan ala kadarnya, mungkin sejak dini anak-anak pun sudah melihat institusi pendidikan bukan lah jalan keluar bagi mereka. Akibatnya anak-anak turun ke dunia kerja sejak dini, sebab bagi mereka ruang kelas bukan lah jawaban. Pesimisme yang melingkupi imajinasi anak-anak NTT harus lah diangkat. Tugas ini harus dikerjakan paralel: pusat-provinsi-kabupaten, dan dengan tidak membedakan antara swasta dan negeri. Tugas ini adalah tugas peradaban, sebab perbudakan satuannya adalah abad.

Pendidikan juga gagal menjadi alat emansipatoris, ketika institusi-institusi pendidikan gagal menghasilkan para elit pemimpin yang peduli pada mereka yang paling lemah. Saat ini korban perdagangan orang adalah bagian dari kelompok yang paling rentan dieksploitasi. Membaca mereka sekedar satu kasus merupakan sebuah kekeliruan dan tindakan amnesia. Sebab akar perbudakan yang terjadi berabad-abad seolah dilupakan begitu saja, dan konstitusi Republik Indonesia secara jelas menolak tegas perbudakan.

Di era kolonialisme Eropa perbudakan dahulu seluruhnya ditandai dengan paksaan dan kekerasan fisik. Sedangkan perbudakan yang tergambar dalam model kolonialisme internal tak mesti ditandai dengan kekerasan fisik saat rekrutmen,  namun sangat mungkin dilakukan secara legal dan diproteksi oleh aparat pemerintah dengan manipulasi kolektif. Klaim yang dibangun, seluruhnya bersandar pada keuntungan ekonomis dengan klaim ‘zero risk’ (nol risiko). Para pembuat kebijakan hanya mungkin melihat praktek perdagangan orang jika mau membaca detil dinamika eksploitasi dalam setiap rantai nilai (value chain), dan tidak hanya membaca berkas. Persoalannya nalar ekonomi dengan mudah menggantikan proses manipulasi.

Salah satu tehnik manipulasi dalam tata pengetahuan terkini adalah dengan menempatkan jarak obyektif antara pembuat kebijakan dengan warga yang jadi sasaran perdagangan orang. Remmitance menjadi alibi terkuat, sementara secara hukum para pelaku cenderung untouchable. Salah satu cara untuk mengukur jarak modernitas, dan jarak ‘kolonialisme internal’ adalah dengan mengukur sejauh mana perbedaan antara watak ‘para penjajah Belanda’ dan kaum mardijkers kontemporer yang menjadi elit baru dalam skema kolonialisme internal.

Dalam kajian tata pengetahuan kita juga melihat bagaimana perbudakan mendapatkan celahnya untuk kembali beroperasi kembali, dengan meletakan nalar korporasi sebagai ‘kebenaran dominan’ dengan dijadikan regulasi oleh legislatif/pemerintah pusat maupun legislatif/pemerintah daerah.  Selama aksi perdagangan orang tidak dikenal, dan aksi pelanggaran oleh korporasi dibiarkan dan dibaca sebagai bentuk insentif terhadap korporasi maka sesungguhnya kita tidak bergerak dari posisi kolonialisme abad ke 15.

Neo kolonialisme yang disebutkan oleh Soekarno sedang terjadi. Atau mungkin dalam konteks NTT perbudakan tidak perlu ditulis dengan tambahan ‘neo’, sebab perbudakan bagian dari kultur feodal, dan menyatu dalam tatanan sistem sosial.  Perbudakan tidak hilang, hanya berganti baju, atau bahkan dilaksanakan dengan diam-diam sebagai bentuk praktek budaya lokal. Perbudakan (slavery) hanya lah terjemahan etis orang Eropa, sedangkan bagi warga di NTT maupun di Indonesia secara umum pembedaan ini tidak dilakukan karena telah dianggap bagian dari ‘hukum alam’, atau terjemahan lurus dari Darwinisme sosial. Globalisasi hanya mempercepat proses eksploitasi yang memang sudah terjadi dalam skala geografis yang makin luas, dan para pejabat tak lebih dari indirect ruler.

Kehadiran nation-state, sebagai sebuah institusi moderen diharapkan dapat mengatur populasi di wilayah tertentu yang bersepakat untuk menjadi entitas politik. Persoalannya krisis ‘negara-bangsa’ yang terjadi tidak hanya terkait formasi political islam global dan terkait dengan kontestasi rakyat (the people) dan ummat, tetapi ini terkait dengan ‘hukum ekonomi’ yang menjadi panglima atau kebenaran teratas yang diadopsi oleh state apparatus.  Membaca ulang UU Ketenagakerjaan dan UU TPPO secara bersama-sama mungkin akan membantu. Entah apa yang akan ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer andaikan ia masih hidup–dan andaikan ia adalah orang NTT.

 

*Penulis anggota FAN (Forum Academia NTT), Peneliti IRGSC dengan minat sosiologi sejarah.

 

 


Leave a comment

Pilkada, Indipendensi Penyelenggara, dan Paket Non Birokrat di Kota Kupang


Oleh: Dominggus Elcid Li

 

Pilkada Kota Kupang kali ini cenderung akrab dengan intrik elit. Hal ini ditandai dengan kuatnya peran ‘invisible hand’. Meskipun intrik adalah wajah dominan, namun diabaikan. Untuk paham intrik, pemahaman awal terhadap proses dan alur merupakan dasar utama.

Menjegal dan mendukung menggunakan institusi penyelenggara pemilu menjadi karakter utama Pilkada Kota Kupang kali ini. Upaya menjegal satu-satunya calon dari golongan non PNS dialami oleh Paket Viktori, pasangan Matheos Viktor Messakh dan Victor Manbait. Viktor Messakh yang biasa dipanggil Atok adalah mantan jurnalis The Jakarta Post dan kini Pemimpin redaksi Satutimor.Com, sedangkan Victor Manbait adalah Direktur LSM Lakmas Cendana Wangi. Kedua pemuda berani ini telah membuktikan bahwa adalah mungkin warga Non PNS masuk dalam gelanggang politik.

Di Kota Kupang, yang dicap sebagai kota pe-en-es ini, keterlibatan warga Non PNS bukan merupakan hal biasa. Pertanyaan Ospek yang biasa ditanyakan kepada mereka adalah: ‘tanam kelapa dimana’ atau ‘sudah bikin apa’. Kerangka pemikirannya khas ‘pemilik trayek lama’ jalur bemo. Angkutan kota yang boleh jalan hanya lah yang punya izin trayek, atau sudah lama ‘ngetem’ di situ. Akibatnya bemo Kupang ‘sonde jadi doi lai’. Mogok, tidak kuat naik bukit adalah pemandangan biasa. Meskipun kekurangan daya ini coba ditutupi dengan volume speaker yang luar biasa besar, warna-warni cat dan pelapis kaca mobil.

Jadi ketika ‘kaum pejalan kaki ini’ berhasil kumpulkan dukungan sebanyak 22.708 pendukung, orang sempat heran. Proses pengumpulan tidak menjadi bahan belajar, sebaliknya watak kolonial lah yang dipraktekan oleh KPU, Panwaslu dan Bawaslu. Watak kolonial adalah ujaran pejabat yang menolak untuk dibantah dengan data dan analisis. Atau dalam bahasa angkot ‘dilarang mendahului’. Jika coba mendaftar, tahu sendiri akibatnya. Bahkan para pejabat ini jangan sampai dibuat tersinggung dengan kritik.

 

Akrobat Penyelenggara Pemilu

Tahap pertama proses penjegalan dimulai dari proses verifikasi faktual dari KPU. Hingga hari H, insiatif untuk koordinasi verifikasi faktual tidak datang dari KPU, sebaliknya pasangan calon ini lah yang mengundang KPU untuk memberikan materi rencana verifikasi dan mekanisme koordinasi. Bisa diterka, di lapangan verifikasi berjalan amburadul. Atas perintah KPU Kota Kupang seluruh nama yang yang tidak dikunjungi sama sekali digolongkan dalam TMS (Tidak Memenuhi Syarat). Pertanyaan sederhana yang tidak bisa dijawab oleh KPU Kota Kupang hingga hari ini adalah ‘di mana daftar nama yang telah dikunjungi’. Manipulasi ini tidak pernah dijawab, dan dibuka media.

Protes terhadap kerja KPU dilayangkan mulai dari level pertemuan kelurahan, pleno kecamatan hingga pleno KPU Kota Kupang. Seluruh keberatan yang ditulis Viktori diakomodir oleh Panwaslu Kota Kupang. Panwaslu Kota Kupang lalu merekomendasikan kepada KPU Kota Kupang untuk menindaklanjuti perkara ini dengan cara sebebas-bebasnya. Rekomendasi yang paradoksal.

Keberatan utama Paket Viktori adalah proses verifikasi model sensus yang dilakukan KPU Kota Kupang jauh dari makna sensus. Kenapa mereka yang tidak dikunjungi dikategorikan TMS (Tidak Memenuhi Syarat)?

 

Gajah ketemu Gajah = Banyak Polisi

Keberatan terhadap keputusan KPU yang meniadakan pendukung Viktori yang tidak dikunjungi disampaikan kepada Panwaslu Kota Kupang dengan bukti video sebanyak 180 buah untuk dipelajari. Dari seluruh video ini hanya dua yang dilihat oleh Panwaslu. Keputusan Panwaslu menolak gugatan Viktori tanpa ada analisis hukum, maupun penjelasan penolakan. Hal ini menunjukkan bahwa aslinya Panwaslu tidak memiliki keberatan terhadap tuntutan dan penjelasan Viktori.

Sayangnya protes yang dilayangkan oleh Viktori makin runyam ketika Panwaslu dibekukan oleh Bawaslu Provinsi atas perintah Bawaslu pusat. Rekomendasi yang ditulis oleh Bawaslu pusat hanya mempersoalkan keputusan Panwaslu atas ‘mutasi pegawai’ yang dilakukan Jonas Salean.

Drama ini pun berlanjut. Pihak penyelenggara dari Bawaslu pusat, Bawaslu Provinsi NTT, hingga KPU Kota Kupang hanya mengurus pencalonan Jonas Salean. Sedangkan protes dari Viktori sama sekali tidak dibahas. Karena tidak dibahas media pun diam.

 

Barang Bukti Jadi Properti Penyelenggara?

Tak berhenti di situ paket rakyat jelata ini dikerjai oleh para penyelenggara. Ketika kedua pemuda ini bertanya kemana 180 barang bukti yang sudah diserahkan kepada Panwaslu, keduanya dipingpong selama tiga hari. Di sekretariat Panwaslu Kota Kupang yang sudah dibekukan pengurusnya, mereka menjawab ‘tidak tahu’. Ger Atawuwur, sebagai Ketua Panwaslu Kota Kupang yang dibekukan menjawab ia hanya menerima soft copy. Sedangkan Yemris Fointuna, mantan wartawan Jakarta Post yang jadi anggota Bawaslu Provinsi NTT, pun menjawab ‘tidak tahu dan akan dicari’.

Hari ini, 16 November 2016, Bawaslu Provinsi NTT, atas nama Saudara Yemris Fointuna menulis surat bahwa permintaan kembali dokumen-dokumen asli yang disampaikan kepada Panwas Kota Kupang tidak dapat diberikan karena (1) dokumen asli maupun salinan merupakan dokumen pendukung dalam proses penyelesaian musyawarah sengketa Pemilu yang hasilnya sudah diputuskan pada tanggal 7 November 2016 sehingga seluruh dokumen terkait menjadi milik Panwaslu. Padahal dokumen-dokumen ini dibutuhkan untuk dipakai sebagai alat bukti dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara di Surabaya. Tak hanya itu putusan, berita acara dalam musyawarah sengketa maupun notulensi sidang Pilkada Kota pun tidak diberikan. Kejanggalan ini juga dirasakan oleh hakim PTUN Surabaya

Setidaknya dua hal yang perlu menjadi pertimbangan Bawaslu Provinsi NTT, dan para penasehat hukumnya. Pertama, sejak pleno di tingkat kelurahan, hingga kota di KPU Kota Kupang sengketa Pemilu ini tidak dibahas dan dibuktikan secara tertulis. Kedua, di tingkat musyawarah sengketa Pemilu di Panwaslu Kota Kupang, dari 180 bukti yang diserahkan hanya dua bukti yang dikaji dalam persidangan.  Bagaimana dengan analisanya? Ketiga, kehadiran dua staf Bawaslu pusat dalam perhelatan Pilkada Kota Kupang memang janggal, apalagi ‘staf Bawaslu pusat ‘hanya mengurusi’ masalah satu pasang calon. Sedangkan keberatan dan persoalan mendasar terkait soal ‘verifikasi faktual’ dianggap bukan lah soal. Seharusnya Bawaslu Provinsi NTT bisa berpikir bahwa antara proses dan hasil adalah satu paket. Menerima hasil, tanpa mengkaji proses merupakan tanda tanya.

Sampai di sini, kita bisa sama-sama lihat bahwa ‘teror’ dan kekuatan massa merupakan alat efektif dalam politik Pilkada. Tidak hanya di Jakarta, di Kupang juga sama. Sayangnya ulasan semacam ini tidak kita temukan di media massa. Horor dan yang jelek senantiasa ada di seberang lautan, sementara di rumah sendiri manipulasi adalah jati diri.

 

*Penulis adalah Warga Kota Kupang yang bekerja untuk Atok-Viktor (Viktori) dalam Pilkada Kota Kupang.

Tulisan ini dimuat di Pos Kupang, 17 November 2016